BAB 2

104 7 7
                                    


"Lama lo ah, ngapain di dalem? Yang lain juga udah keluar," Yato mengumpat ketika Dzaky masuk ke mobil, setelah menunggu setengah jam di depan masjid.

"Doa, biar enggak digodain setan."

"Setan juga takut sama elo," jawab Yato sambil melajukan mobilnya membelah ibu kota.

"Setannya elo. Dan lo enggak takut sama gue."

"Hahaha, sialan. Calon bini lo bener-bener ngerubah elo sampe segininya." Yato tidak tersinggung, malah terbahak.

Harry duduk di samping Yato melengos ke belakang, "Gue penasaran," ujarnya menatap Dzaky. "Kok elo masih mau temenan sama setan?"

"Pacar lo pernah ngelarang ketemu kita enggak?" timpal Yato masih fokus mengemudi.

"Gue pernah cerita soal kalian, juga gimana bejadnya kalian. Tapi Dek Zahra ngeresponsnya biasa aja."

"Asek, Adek.. Panggilannya mesra amat, Mas," sela Harry ngegoda dengan tambahan panggilan mas untuk Dzaky.

Lelaki yang sekarang sedang menumbuhkan jenggotnya itu mengangguk, tersenyum tipis, "Dia bilang, 'Mas juga sama. Setiap orang bisa berubah. Entah itu dikarenakan keinginan sendiri, atau lingkungan. Kalau Mas Dzaky enggak sama mereka, lalu siapa yang menasihati mereka? Kalau bisa hijrah bareng-bareng kenapa harus sendiri? Mas coba aja rangkul mereka.' Itu kata dia, padahal gue udah berpikir mau buang kalian. Jijik gue mah ngerangkul kalian. Entar dikira homo. Hahaha.."

"Dia mah gitu, nemu yang baik, yang busuk dibuang." Sindir Yato merespons.

"Enggak gitu."

"Tau tuh, orang maruk, baru baik bentar aja udah mau jauhin kita," timpal Harry kini menghadap ke depan.

Dzaky menggeleng pelan, "Enggak gitu. Gue cuman kepikiran aja, lagian mana mungkin pisah sama orang sinting kaya kalian? Elo berdua kan udah kaya saudara."

"Ouh, co cweet.." balas Harry dengan nada dibuat-buat.

Mereka tergelak. Yato sendiri tidak mau menimpali, sebab ucapan Dzaky seperti menamparnya. Harry tidak sebusuk dirinya, tidak suka merebut pacar orang, hanya sesekali selingkuh, pun tidak merokok seperti Yato dan ... tidak minum alkohol. Melempar tatapannya pada jalanan padat merayap, Yato tersenyum getir.

"Masih jauh enggak?"

"Di depan, bentar lagi sampe kok. Yang ada plang Annora itu, warna hitam." Harry menunjuk jajaran ruko.

"Di sana?"

"Iya."

Mobil Yato terparkir di pinggir jalan, tidak ada yang keluar. Diam mengintip seperti seorang penguntit. Sampai setengah jam mereka di sana, belum makan dan jam makan siang pun sudah hampir habis lantaran waktunya dihabiskan menunggu Dzaky keluar masjid dan sekarang menguntit. Belum lagi Harry dan Dzaky mulai gelisah, sebab sudah mendapat panggilan dari atasan mereka untuk kembali ke kantor.

"Yato, kita masuk aja ya. Pura-pura beli gitu, cape nunggu lama dia enggak keluar," saran Harry.

"Jangan."

"Kenapa?"

"Entar kalian ngobrol, terus suka."

"Dih," Harry mendengus.

"Kamaren gue liat, jam segini dia keluar." Yato melirik jam tangannya, pukul tiga belas lewat lima menit.

"Terus elo pikir hari ini dia bakal keluar juga gitu? Enggak jamin." Dzaky hampir memekik melihat kepolosan Yato. Entah mereka sedang dikerjai atau Yato yang terlalu percaya diri.

AFEKSIWhere stories live. Discover now