BAB 1

350 9 8
                                    

Sepuluh menit terakhir, Yato berdiam diri menatap Kara bersama lelaki yang Yato tahu pasti bahwa lelaki itu kekasih Kara. Almeta Zahid Hamizan, seorang dokter muda yang juga kakak kelasnya dulu saat di SMA.

Beberapa kali Yato pernah terjerat masalah dengan Hamizan. Tidak tahu, tapi takdir seolah membuat Yato berperan jahat di kehidupan Hamizan, merebut kekasih lelaki berambut cepak yang sekarang tengah bergurau dengan wanita yang sama dikencaninya.

"Parah lo, enggak kapok dilabrak Hamizan?" Dzaky turut memandang dua sejoli yang tak jauh dari posisi mereka.

Duduk di meja paling pojok di dinding cafe, orang-orang biasanya jarang duduk di sana sebab tidak memiliki ruang banyak dan tak mendapat angle foto yang bagus dengan bangunan cenderung terbuka di bagian depan. Sedangkan Hamizan dan Kara berada di muka dekat dinding kaca yang menghadap langsung ke jalan.

"Kapan? Pas dia kuliah? Itu udah lama, lagian gue enggak ngincer pacar dia. Kebetulan aja cewe yang gue deketin itu pacar dia." Mata Yato tidak beralih barang sedetik saja. Memerhatikan saksama ekspresi Kara tersenyum senang.

"Kali elo jodoh sama Hamizan, perasaan rebutan cewe mulu." Setelah memotret latte art miliknya Harry mengunggah ke instragram, tidak lupa juga caption quotes yang dia comot entah dari mana dengan tambahan emoticon love. Harry melirik sejenak wajah Yato yang menatapnya kesal kemudian cepat-cepat kembali memerhatikan handphonenya, "Wah mantan gue nge-love."

Yato berdengus, "Gue masih normal kale," ujarnya sebab Harry mencoba mengalihkan pembicaraan.

Dzaky yang tengah menyeruput kopi hitamnya seketika tersedak, "Iya, betul betul, kali elo jodoh sama Hamizan. Dari zaman sekolah sampai udah berjenggot gitu yang direbutin masih aja cewe."

"Anjirr lo pada. Najis dah gue homoan sama dia, kalau pun gue homo, enggak bakal pacaran sama dia."

"Elo udah ada rencana buat jadi homo?" sekali lagi ucapan Harry berhasil membuat Yato mengumpat.

"Sialan lo."

"Gue sih takutnya kalau nanti Hamizan udah nikah, entar bininya elo embat juga." Dzaky berekpektasi, sambil tertawa tidak jelas dengan tatapan yang tak lepas dari Kara dan Hamizan.

"Gue jadi kasihan sama Hamizan." Harry turut menimpali.

"Iya, cowo serius kaya dia, kenapa semua pacarnya selalu berakhir sama cowo brengsek kaya Yato? Kadang hidup emang enggak adil," tutur Dzaky memasang wajah melas.

"Anjing, elo berdua juga brengsek." Yato menoyor kedua temannya yang sekarang malah cekikikan.

"Tapi gue udah tobat."

"Gue juga sedang menuju proses pertobatan," Harry menimpali, "Pacar gue sekarang tinggal dua, dan lagi menimbang siapa dari mereka yang mau gue seriusin."

"Eh sialan, elo mau nikah?" Yato hampir terjungkal mendengar ucapan sedikit manusiawi dari Harry.

"Yato, kita emang berteman, tapi jangan membuat kita memiliki ideologi kaya elo, yang udah mantep mau jadi perawan tua." Harry menepuk-nepuk pundak Yato.

"Perjaka tua kale!" Dzaky membenarkan. "Eh, gue rancu kalau elo masih perjaka, To."

"Gue masih perjaka, bangsat. Terus siapa yang bilang gue mau jadi perjaka tua? Gue cuman belum mikir mau membelenggu diri dengan ikatan pernikahan. Kalian berdua tahu sendiri, kan? Gue itu gampang bosen, jadi takut kalau udah nikah nanti bini gue malah gue selingkuhin."

"Iya sih, gue juga takut sama satu hal itu, selain ngerebut bininya Hamizan. Atau jangan-jangan nanti kalau elo udah nikah malah selingkuh sama bininya Hamizan. Horor, To. Bener, mending elo tobat dari pada pikiran gue makin gila." Bola mata Dzaky hampir copot membeliak terhadap bayangan yang ada di otaknya.

AFEKSIWhere stories live. Discover now