BAB 3

94 5 3
                                    

Yato berjalan cepat, turun dari mobil selepas mengantar pesanan pelanggan tante Sri. Memang tidak jauh, tapi itu banyak sekali dan Yato harus bertanya kesana-kemari mencari alamat. Ini sudah pukul delapan malam, rumah Sri mulai sepi, beberapa pegawainya pun mulai beres-beres. Sibuk meletakkan hasil kerajinan yang sudah selesai atau pun belum. Ada rak khusus di ruangan tempat Hamida mengajar, di sana seperti loker dengan beberapa nama dan berisi barang milik mereka—lebih tepatnya kerajinan mereka yang belum selesai dan belum pantas dijajarkan pada etalase.

Ada enam pegawai wanita, tiga ibu-ibu, satu janda, dan dua gadis. Hamida masuk dalam kategori gadis tentunya, bersama satu remaja SMA yang kebetulan tinggal di dekat rumah Sri, namanya Nana. Khusus untuk Nana, bisa datang setelah pulang sekolah, hari libur dan pulang semaunya. Namun biasanya gadis itu selalu pulang terakhir seperti saat ini.

Nana memerhatikan Yato yang berjalan menyusuri rumah Sri seperti orang ling-lung. Berdiri di ruangan yang memiliki meja rendah panjang dengan karpet abu-abu gelap, dan hiasan dinding warna-warni, mirip seperti sekolah TK. Tapi jangan salah, di sinilah tempat kerja mereka. Sengaja disulap berwarna agar tidak jenuh dan tanpa ada formalitas. Karpet berwarna gelap pun sengaja dipilih untuk memudahkan menemukan jarum atau mote yang tercecer di lantai.

"Cari siapa, Kak?" Nana bersuara, dengan masih merapikan loker miliknya.

"Itu. Yang duduk di sini tadi, siapa namanya? Nifa, eh bukan.. Itu." Yato mencoba mengingat pasalnya yang dia ingat hanya nama Hanifa.

"Kak Mida?"

"Iya, itu. Hamida. Kemana?"

"Pulanglah, kemana lagi," jawab Nana santai.

"Yang lain belum pulang, kok dia udah?" Yato masih belum putus asa mencari-cari.

"Kak Mida itu boleh pulang kalau udah dijemput. Gitu.. lagian Kak Mida kalau dateng lebih pagi dari yang lain. Apa salahnya pulang lebih dulu," cerocos Nana dengan nada bicara kesal.

"Jam tujuh tadi dijemput Nifa. Kenapa nyariin? Pengen kenalan?" Sri datang setelah selesai mengecek barang masuk.

"Enggak gitu, Tante. Cuman heran aja, yang lain belum pulang kok dia udah."

"Alibi tuh," cibir Nana.

"Emang Mida tiap hari diantar-jemput?"

"Iya, Nifa jemput Mida biasanya jam tujuh, delapan gitu. Tapi kalau dia sibuk banget Hamizan yang jemput," jawab Sri.

"Kalau tiap hari dijemput, kenapa tadi payetnya dikirim ke sana? Kan bisa diambil tuh sama Nifa." Yato selonjoran, menyandarkan punggung di dinding dekat meja rendah sambil memerhatikan kerja Nana.

"Jangan mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi. Kalau kerja harus profesional. Kita kirim ke butik lain juga, hanya karena Nifa tiap hari ke sini, bukan berarti semena meminta dia mengambil sendiri barang yang kita jual." Sri turut duduk untuk bicara empat mata dengan Yato, barangkali lelaki itu bisa menimbang untuk bekerja di sini satu bulan saja.

"Kalau udah, bisa langsung pulang ya, Na." Sri berbicara pada Nana.

"Iya Tante."

"Yang lain udah pamit, tinggal kamu. Nanti kemaleman enggak sempet belajar."

Nana tertawa, "Biar buat alesan ke Babe, hahaha."

"Nanti Tante yang dimarahin sama Babemu."

Nana menurut, "Iya, iya." Berdiri, mengulurkan tangan. Salim dengan Sri, "Nana pulang ya, Tante. Assalamualaikum.."

"Waalaikumsallam."

"Kok aku enggak disaliminin?" protes Yato. Menyodorkan tangan memerintah Nana, alih-alih disambut Nana malah mencibir, "Enggak mau ah, entar kaya salim sama suami." Setelah berbicara seperti itu Nana menghabur pergi.

AFEKSIWhere stories live. Discover now