•) Cafuné : Tell Our Story

474 54 4
                                    

📌Note: Bagian ini mengabaikan 'Necromancy' yang penulisannya dikebut sebelum additional page sepenuhnya muncul di depan bola mata saya :v dan seperti biasa, ditulis saat sedang emosi.

»◇◆◇«
Windu Pertama Pasca Gemuruh
»◇◆◇«

Delapan tahun, delapan kemarau, delapan kali migrasi hewan-hewan. Mikasa masih setia menemani Eren di pembaringan terakhirnya. Menatap Shiganshina dan rumahnya tanpa terhalang apapun. Hijau, seperti warna matanya. Kadangkala bunga-bunga aneka warna muncul sesuai musim.

Para orang tua tidak lagi takut membiarkan anak-anaknya bermain di luar distrik. Tidak ada lagi yang takut tersesat, semuanya nampak dari puncak bukit. Kecuali pada pohon tempat makam Eren berada. Tidak ada yang berani mendekat.

Sepertinya mereka takut pada nisan tanpa nama yang tertanam di pohon biasa itu. Rasanya konyol bagi Mikasa, tapi ia juga bersyukur. Tidak akan ada yang mengganggu kedamaian mereka untuk waktu yang sangat panjang.

Kedamaian yang hanya ia rasakan saat dekat dengan Eren.

Rumahnya di Shiganshina termasuk ukuran standard, tetapi akan terlalu besar untuk ditinggali seorang wanita. Kesepian sering menerkam Mikasa ketika ia bangun di malam hari. Terkadang ia berpikir bagaimana jika ada satu atau beberapa orang lagi penghuni. Teman, rekan atau apapun.

Iri rasanya melihat orang-orang merayakan hari libur dengan orang kesayangan mereka. Tidak, Mikasa tidak bosan sama sekali tiap berkunjung ke makam Eren. Namun ada sisi dirinya yang butuh ditemani.

Butuh kehangatan keluarga.

Tidak tahu keluarga dalam artian yang bagaimana.

Jean... rekan setimnya itu datang beberapa waktu lalu, melamar. Mikasa terkejut pria itu masih menyimpan perasaan dari masa remajanya. Tidak memudar bahkan hingga lebih dari satu dekade lamanya.

Jawabannya? Tentu saja tidak.

Jean tahu perasaan Mikasa kepada Eren, dan menghormatinya. Jean sadar tidak akan menang dari Eren dalam hal ini. Tapi terpujikah jika mengiyakannya?

Jean mungkin akan menerima Mikasa apa adanya, bahkan dengan perasaannya yang dalam kepada Eren. Sesuatu yang rasa-rasanya mustahil Mikasa berikan pada Jean. Tapi bagaimana dengan Mikasa sendiri?

Nurani gadis itu tidak mengizinkan. Itu tidak akan adil bagi Jean, bahkan meski ia pasrah akan hal itu. Tidak, Mikasa tidak bisa menyakiti temannya seperti itu.

Ia masih memilih kesepian untuk beberapa waktu lagi.

****
Namanya Elroy. Rambutnya gelap dan matanya berwarna coklat terang. Dia cucu tukang jagal tua renta yang juga tetangga Mikasa. Anak itu tinggal dengannya mulai sekarang.

Itu dimulai ketika kakeknya ditemukan meninggal di rumah jagalnya, dengan satu tangan terpotong. Awalnya dikira pembunuhan, tetapi kemudian diketahui itu adalah kecelakaan. Sepertinya tebasannya meleset dan malah melukai dirinya sendiri. Tidak ada yang menolongnya dan dia terkunci, berakhir mati kehabisan darah. Malang sekali.

Dia tidak lagi punya kerabat. Mikasa tidak tahu ke mana anak-anak si tukang jegal tua. Jadi, ia mengambil Elroy yang baru berusia dua tahun.

Dan tidak terasa ini sudah tahun keempat mereka bersama.

"Apa kau juga membuat yang satu ini?" Elroy bertanya di gendongan Mikasa sambil memainkan ujung syalnya. Membandingkan itu dengan syal biru di lehernya sendiri.

Mikasa tersenyum. "Tidak... Seseorang memberikannya padaku."

"Siapa itu?"

"Orang yang paling aku cintai."

****
Mikasa mengajak Elroy ke makam Eren. Wanita itu masih suka berkunjung, walau tidak sesering dulu karena harus mengawasi 'anaknya'.

"Kau pernah ke sini sekali dulu," ujar Mikasa.

"Benarkah?" Elroy bertanya. "Aku tidak ingat."

"Kau masih sangat kecil. Itu saat aku baru mengasuhmu," Elroy sudah tahu semuanya, "pamanmu Armin juga ikut."

"Siapa yang tidur siang di sini?" Tangan Elroy terulur mengelus batu nisan itu.

Senyum teduh terbit di wajah Mikasa, teringat dulu ia pernah melakukan hal yang sama. "Eren Yeager."

"Eren... Yeager yang itu?" Wanita itu mengangguk. "Kenapa tidak diberi nama? Dia pahlawan untuk orang-orang, mereka akan sangat menghormatinya."

"Kalau orang-orang tahu siapa yang dikuburkan di sini, mereka akan terus datang dan kami tidak akan menemukan kedamaian."

Elroy melamun sedetik lalu mengangguk paham. Paman Armin pernah bilang, bahkan orang mati berhak mendapat kedamaian. Tempat yang sunyi dan tenang.

"Boleh aku datang lagi?"

Mikasa tersenyum dan membelai rambut gelap Elroy. "Datanglah kapanpun kau mau, bersamaku," wanita itu meletakkan jari telunjuknya di bibir, "tapi jangan beritahu siapa-siapa."

"Uhm!"

Awan mendung datang entah darimana. Mereka cepat-cepat pulang, sebelum hujan badai hari itu menghantam.

»◇◆◇«

Inspirasi judulnya :

Elroy berarti 'the king', tapi saya curiga itu hanya merujuk pada '-roy' sedangkan 'El'-nya berarti 'malaikat'. Jangan percaya, saya cuma pakai ilmu kira-kira :p

Ini membelokkan sedikit additional page yang bikin mata bengkak. Halaman paling menyakitkan bagi saya adalah bagian menua dan meninggalnya Mikasa. Saya tidak tahu Isayama mau apa dari itu semua (sakit asw).

MomKasa dan anaknya. Yang saya namai Elroy atau siapapun balita yang datang ke makam Eren. Wanita dan pria yang bersangkutan memang tidak diketahui, tapi inilah versi saya.

Sedangkan untuk 'Kevin Beren Ackerman', entah memang anggota keluarga Mikasa atau bukan pastinya bukan sosok yang lahir di enam puluh tahun pertama Mikasa.

Terimakasih atas waktunya dan maaf jika ada kekurangan!

CafunéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang