•) C̶a̶f̶u̶n̶é̶ : Discarnate

383 53 3
                                    

Eren tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Sungguh tidak bisa. Bahkan ketika Mikasa melewatinya begitu saja, menembusnya berjalan seperti biasa.

'Aku harusnya sudah mati.'

"Armin!" Dia memanggil sahabatnya yang entah sedang apa. "Armin! Kau sedang apa?" Tidak ada jawaban. Sahabat berambut pirangnya itu terus mengoceh kepada Marleyan di depan mereka.

"Hey, Annie!" Eren mengibas-ngibas tangannya di depan gadis itu. Kesal tidak kunjung mendapat reaksi, ia berniat mengganggu kuda di sampingnya.

"Oi, Jean—"

Tercekat. Itu tepat saat tangannya yang hendak mendorong Jean, malah menembusnya. Seperti Mikasa.

"Oh... Ini..." Eren memandangi tangannya sendiri. Tembus pandang. Seperti boneka kaca.

"Ho."

Eren langsung terperanjat. Sesosok tinggi besar berdiri di hadapannya, memegang sabit jumbo, suaranya dalam dan menggelegar di telinga. Mengerikan. Ditambah jubah hitamnya.

"Arwah gentayangan. Pantas saja tidak langsung hilang."

"Huh?"

Sosok hitam itu mendekat, lalu merampas tangan Eren. "Duh, kau punya orang yang dicintai." Dia mengatakan hal-hal tidak jelas. "Janji yang belum ditepati... Merepotkan."

"Apa?"

"Dia," tangannya yang tinggal tulang menunjuk ke arah Mikasa pergi, "kau mau bersamanya, wahai jiwa yang putus asa?"

Eren memandang ke bayang Mikasa yang semakin kecil, menjauh. Ia kembali menatap sosok mengerikan di sisinya. Tangannya kemudian menjentik.

"Mikasa." Ia berpindah langsung ke samping gadisnya. Dirinya sendiri dan sosok hitam yang menemaninya, melayang.

'Aku sungguh-sungguh sudah mati,' ratapnya.

"Tolong dia," pinta Eren putus asa.

"Apa?" sungut si jubah hitam. "Mana bisa, kau pikir kita bisa menyentuhnya?"

"Tapi dia sudah berjalan berhari-hari." Eren merasa iba. "Dia pasti lelah, kasihanilah dia."

Entah sosok tak berwajah itu melakukan sesuatu atau tidak. Tetapi kemudian, sekelompok orang datang. Eren sendiri mengenali mereka sebagai Yeagerist. Mereka mendekati Mikasa, bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi. Namun kemudian Mikasa menolak mengatakan apapun, kecuali memerintahkan mereka untuk mengantarnya pulang.

*****
Eren hanya bisa menatap sedih, setengah menyesal ketika melihat Mikasa menguburkan apa yang masih tersisa darinya. Dengan tangan kotor, air mata yang berlinang dan ekspresi putus asa.

"Menyedihkan sekali... Kalian berdua." Sosok itu bicara setelah beberapa hari diam tak bersuara.

"Andai semuanya berbeda."

"Sudah terlambat. Tapi setidaknya, yang kalian lakukan tidak sia-sia," ucapnya ikut memperhatikan orang yang berlalu-lalang. Mikasa salah satunya. Ia tidak lagi terlihat sedih, tapi dia juga belum kunjung tersenyum.

Eren mendekati Mikasa yang bersiap tidur setelah membaca buku tebal yang entah apa isinya. Tangannya coba menyentuh Mikasa. Rasanya hampir nyata, tetapi lagi-lagi menembus. Itu disusul tubuh Mikasa yang berguncang satu kali.

*****
"Sudah tiga tahun, arwah gentayangan." Ia mencemooh.

Dan Eren masih mengawasinya. Putus asa, tidak rela. Matanya menerawang ke langit.

"Itu dia yang aku tunggu-tunggu." Ia menunjuk ke seekor burung. Jarinya mengarahkan burung itu ke bawah, menukik langsung ke arah Mikasa dan dengan cakarnya makhluk itu menyelempangkan kembali syal merah yang jatuh dari bahunya.

"Selamat tinggal, Mikasa." Eren memeluknya, walau Mikasa tidak tahu, tangan Eren juga dengan lembut membelai rambut jelaga Mikasa.

"Janjimu sudah selesai," ujar sosok hitam itu. "Ayo pergi."

Ujung bawah sabitnya yang berwarna emas disenggolkan ke kaki Eren. Perlahan bayangan transparan Eren melebur, kali ini benar-benar meninggalkan Mikasa seorang diri.

»◇◆◇«

Discarnate (adj.): having no body

Bagaimana rasanya bagian ini?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bagaimana rasanya bagian ini?

CafunéWhere stories live. Discover now