•) Cafuné : Unplanned Change

403 42 1
                                    

Sejak menerima ingatan ayahnya, ruang waktu Eren menjadi tidak jelas. Ada di waktu yang mana ia saat ini? Masa depan ketika rumbling terjadi atau masa lalu ketika Karl Fritz memutuskan rencana bunuh dirinya? Dia ada di Path atau rumahnya di Shiganshina? Semuanya yang ia lihat terkadang bercampur dengan kenyataan di depannya.

Namun sekarang, Eren tahu ini waktu yang mengarah ke mana. Kemah pengungsian para korban perang, bocah pencopet yang siang tadi ia tolong. Mikasa berteriak memanggilnya dari belakang, kemudian menasihatinya agar tidak berkeliaran sembarangan. Kemudian tiba waktunya, pertanyaan yang Eren tahu akan selalu ia ajukan.

"Siapa aku bagimu, Mikasa?" tanyanya. "Kenapa kau begitu baik padaku. Apa karena aku menolongmu saat kita kecil, atau karena aku keluarga? Bagimu, aku ini apa?"

Kenapa masih menanyakannya, sudah tahu dia akan ditolak. Jawaban Mikasa, sekali lagi adalah keluarga. Mereka kemudian akan disela dan mabuk-mabukan sampai dini hari. Kenapa ia tetap bertanya padahal tahu akan sepahit apa jawabannya.

"Kau keluarga." Lihat? Tidak ada yang berubah. Dada Eren  diam-diam sesak, untuk dua detik kemudian Mikasa redakan. "Kau rumahku, orang yang paling berharga bagiku, tempatku pulang dan kehangatan yang kuinginkan berada."

Mulut Eren setengah menganga, sedangkan Mikasa dengan pipi memerah menghindari tatapan zamrudnya.

"Itu—"

Srak

Suara kaki yang setengah diseret menyela mereka. Seorang pria tua, anggota keluarga bocah pencopet yang Eren antar pulang. Ini sama tapi juga sangat berbeda dari yang Eren tahu. Dia membawa nampan dan gelas berisi minuman beralkohol, menawarkannya pada mereka. Teman-teman Eren dan Mikasa juga muncul, sehingga mereka semua masuk ke tenda pengungsi, memenuhi undangan si pria tua.

Yang terjadi setelahnya hampir seperti yang Eren tahu, kecuali.... Ketika Eren menghampiri Mikasa, mumpung gadis itu masih belum dimabukkan alkohol.

Eren berlutut dan berkata, "Mikasa." Membuat gadis itu menoleh. Matanya tetap seperti biasa, hanya milik Eren yang berbinar-binar—bahkan Mikasa menyadarinya. Pemuda itu menjilat bibirnya yang kering, menghilangkan gugup sebelum melanjutkan. "Kau ingat yang tadi?"

Pupil Mikasa praktis melebar. Merasakan wajahnya tersengat panas, gadis itu berpaling.

"Apa yang tadi itu benar?" tanyanya lagi.

Mikasa yang masih berpaling dengan enggan mengangguk samar. Isi gelas di tangannya memantulkan dirinya sendiri.

Kira-kira seperti apa wajahnya sekarang?

Pasti seperti tomat segar.

"Lihat aku," tangan Eren menangkup pip gadis itu, memutarnya ke arahnya, "dengarkan. Ada yang harus aku ceritakan padamu."

Kita perlu menyusup ke Marley, katanya. Zeke dan Kiyomi sedikit banyak harus membantu, mengingat Mikasa sekarang juga akan ikut. Eren sudah tahu ia akan berakhir bagaimana, tapi Mikasa? Ia hadir di luar rencananya. Ada yang berubah, entah yang mana saja. Eren akan membawa Mikasa ikut serta, ia tidak akan jauh-jauh darinya setelah hal barusan.

"Jika besok yang terjadi adalah seperti penglihatanku," kalimatnya menggantung sebentar, "maukah kau ikut bersamaku?"

Mikasa tidak kunjung menjawab. Dia tidak ragu, tapi tatapannya seakan berkata 'kau masih bertanya hal itu?'. Eren tahu Mikasa akan bersedia kalau diminta. Tapi sekarang Eren memastikan kesediaan gadis itu. Eren tidak akan protes kalau dia menolak, tapi ternyata dijawab dengan satu anggukan mantap.

Melegakan.

****
Jika hal lain yang Eren tahu sebagai jawaban Mikasa selain keluarga, maka itu adalah ajakannya untuk lari yang dalam sedetik saja ia sambut tanpa berpikir. Namun memang beberapa peristiwa tidak terjadi. Sisi paling tidak egois dari gadis itu masih mendominasi, dan Eren tidak keberatan. Pada akhirnya Eren akan tetap menyusup ke Marley, tetapi kali ini dengan membawa Mikasa, tidak sendirian seperti yang telah ia rencanakan.

CafunéWhere stories live. Discover now