70|Lachia (02)

117 28 0
                                    

"Hey!"

"Aku memanggilmu..."

"Iya memanggilmu."

"Maukah kalian mendengarkan sedikit cerita tentangku?"

"Sebenarnya aku nggak maksa sih. Tapi kalau kalian mau dengan ikhlas mendengarkan ceritaku, Berjanjilah untuk merahasiakannya. Cukup kamu yang tau untuk saat ini."

"Ok mari kita mulai. Dari mana dulu ya...Hm..."

Kou menaruh tangannya di dagu. "Ah iya. Cerita tentang saat diriku yang masih di Lachia dan diriku saat terbangun di dunia tak bernama ini."

Kou menarik nafasnya.

"Begini..."

Flash Back.

Aku adalah anak tiri dari keluarga kerajaan di planetku. Aku sangatlah di sayang oleh semuanya kecuali dengan satu orang, Baginda Raja.

Saat aku dari masih kecil, Aku selalu di marahi olehnya. Tidak segan-segan ia menamparku dan membiarkanku di kuncikan di dalam gudang.

Berbeda dengan Ibunda permaisuri yang baik hati. Aku benar-benar di sayang layaknya anaknya sendiri. Ketika ia memelukku, Rasanya sangat hangat. Begitu juga dengan saudariku.

Di sana aku di ajarkan bagaimana cara memakai pedang, Bertarung dan bagaimana caranya menahan keseimbangan saat buku-buku di taruh di atas kepala. Setiap aku bertarung dengan pedang, Aku selalu terluka. Akhir-akhirnya pembantuku selalu mengobatiku.

.
.
.

"Kau tau tidak! Gara-garamu putriku terluka!" Teriak Ayahanda Raja. Semua orang yang ada di sana terdiam. "Mulai sekarang kau di pecat dan jangan harap kau dapat menginjakkan kaki di tempat ini!" Ucapnya dengan keras.

Aku sendiri juga tidak tau kenapa ayahanda menjadi seperti ini. Dulu ia tidak begini. Pembantu tersebut lalu membereskan barang-barangnya lalu segera pergi dari istana.

"Ayah, Kenapa kau menyuruh pembantu itu pergi?!" Teriakku tak terima. Pembantu itu adalah pembantu yang selalu menemaniku dan mengobatiku di saat aku butuh bantuannya.

"Karena dia telah melukai saudarimu."

"Tapi itu hanya kesalahan kecil. Aku yakin pasti-!"

Plakk!

Satu tamparan dengan mulus mendarat di pipiku. "Kau ini lama-lama menjadi tidak berguna! Malam ini kau harus tidur di gudang lagi!" Katanya penuh penekanan.

Rambutku lalu di tarik lalu ia menyeretku sampai ke gudang. Di bukalah pintu tersebut dan segera melemparku ke dalam sana. Aku dikuncikan di dalam sini.

"Hiks...Kenapa selalu saja begini." Aku memeluk lututku sambil menangis. "Andaikan saja ayahanda bisa sebaik dulu."

Aku melihat keluar jendela. 'Bagaimana kalau aku kabur?' Aku segera membuka jendela yang di selot dengan hati-hati. Jendela pun terbuka lebar. Untung saja gudang berada di lantai dasar dan di paling ujung, Jadi pasti aku tidak akan mudah di tangkap kembali.

Aku memakai jubah yang sengaja ku temukan di lemari. Walaupun sedikit berdebu, Setidaknya bisa di pakai untuk penyamaran.

Aku melompat keluar jendela. Sangat bagus. Saat ini ada acara penting sehingga para penjaga sedang mengawasi ruangan pesta.

Secepat mungkin aku berlari meninggalkan istana. "Maafkan aku, Ibunda...Maafkan aku semuanya...Aku tau aku cuman beban."

Aku tidak menghiraukan semua orang. Terserah apa mereka ada yang mengenaliku ataupun tidak. Aku memutuskan untuk berlari ke sungai. Tempat dimana aku selalu bermain bersama Saudariku di saat kami di perbolehkan keluar.

.
.
.

Aku menidurkan kepalaku di pohon yang berada di dekat sungai. "Capeknya...Sepanjang panjang perjalanan aku terus berlari." Keluhku sambil menaruh tasku di samping.

Aku berjalan ke pinggir sungai. Aku segera membuka alas kakiku dan langsung mengenai kakiku di air. "Airnya agak dingin."

Aww!

Aku menjerit kesakitan saat kakiku menginjak sesuatu. Aku melihat ke bawah. "Benda apa itu? Apa itu batu Juga?" Aku segera mengambilnya. "Eh bukan batu. Tapi ini apa ya...Bentuknya bagus sekali dan berkilau."

"Akhhh....Lepaskan aku!" Aku sedikit tersentak kaget. Dari kejauhan seperti ada orang yang berteriak. "Jangan-jangan..." Aku segera meraih tasku kembali. Aku berniat untuk mencari sumber suara tersebut.

Aku berlari sedikit ke tengah hutan dan akhirnya aku menemukannya. "Serahkan semua uangmu serta barang berhargamu cepat!"

"Tidak! Aku tidak membawa apapun!"

"Jangan bohong! Tidak mungkin kau tidak membawanya!"

"Hey berhenti!" Teriakku.

Dua perampok itu menoleh ke arahku. "Bisa apa kau anak kecil. Mau jadi pahlawan? Hahaha..."

"Kalian ini sudah besar tapi kok nggak bisa nyari uang halal ya. Wah kalah dong sama anak kecil yang udah bisa nyari uang halal sedangkan kalian nggak. Ingat uang itu nggak bisa buat nyari makan. Sungguh memalukan."

Para perampok itu nampak kesal dengan apa yang telah aku katakan. "Kalau kau berani, Majulah! Kalahkan kami kalau kau bisa. Palingan juga setelah ini langsung kocar-kacir."

"Orang yang berani adalah orang yang tidak akan pergi sebelum berperang dan tidak akan menyerah sebelum menang." Timpalku lagi.

Aku berlari dengan berani ke hadapan mereka. Aku dengan sekuat tenaga mengerahkan semua kemampuanku. Tapi sepertinya aku tidak akan cukup kuat kalau sampai membuat mereka babak belur."

Aku merasa salah satu dari mereka sudah kewalahan. Dengan cepat segera menendangnya sampai terjatuh. Namun temannya segera memegang tanganku. Alhasil aku tak dapat berbuat apa-apa.

Tadinya aku ingin menginjak kakinya, Namun orang yang ku tendang segera bangkit dan memukul serta menendangku.

Aku pun terjatuh. Barang-barang yang ada di dalam kantung celanaku ikut keluar termasuk benda aneh yang ku temukan tadi.

"Rupanya dia juga membawa uang." Seorang temannya memberikan isyarat untuk mengambil barang-barangku.

Aku sedikit mundur ke belakang. "Tamatlah sudah riwayatmu anak kecil." Aku menutup mataku dengan kedua tanganku. Sepertinya aku akan mati.

Bwoshhh!

Ada angin kencang yang mengelilingiku. Aku dapat merasakannya bahkan suara hembusan angin itu dapat terdengar dengan jelas. Angin seakan-akan adalah perisai bagiku.

Namun angin itu semakin membesar dan bertambah kencang. Para perampok tersebut lalu terpental ke belakang dengan sangat jauh. Namun anehnya aku tidak.

Angin itu lama-lama memudar layaknya seperti angin pada biasanya. Perempuan yang tadi lalu menghampiriku. "Apa kau terluka? Maafkan aku. Gara-gara aku-"

"Tidak apa-apa. Tenang saja aku tidak...aww!" Aku merasakan sakit di bagian perutku."

"Tuh kan kau terluka. Bagaimana kalau kau ikut ke rumahku. Aku akan mengobatimu sebentar."

"Tidak perlu. Nanti aku malah menyusahkanmu."

"Itu tidak benar. Sudah ayo cepat. Kalau tidak segera diobati, Nanti tambah parah loh."

Aku akhirnya menyerah. Aku berusaha untuk berdiri walaupun masih di bantu oleh perempuan tadi. "Sepertinya dia nanti akan tau kalau aku adalah pangeran."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐓𝐡𝐞 𝐄𝐧𝐝 𝐨𝐟 𝐭𝐡𝐞 𝐒𝐞𝐜𝐫𝐞𝐭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang