4

504 66 1
                                    

Gelisah, takut, kesal semua nya bercampur menjadi satu dalam benak gadis bersurai coklat karamel yang tengah duduk sendirian menatap langit yang beberapa menit lalu berganti gelap seutuhnya. Wajahnya begitu kacau, masih mengenakan dress yang sobek disisi bahunya lalu di lapisi mantel tebal membukus hampir seluruh tubuhnya. Lunturan maskara yang ia kenakan masih bercetak rapi bertengger dibawah mata nya yang indah. Tak memedulikan pandangan orang yang berlalu lalang sedari tadi Jennie berusaha menjernihkan pikirannya saat ini.

Menatap bintang yang bertabur indah di langit, hembusan angin malam yang menyejukkan setidaknya bisa membuatnya lebih tenang dari sebelum nya, walau tetap saja tak dapat dipungkiri rasa sakit itu masih ada.

Perlahan dengan ragu ia merogoh tas yang diletakkan di sampingnya pada bangku taman, tangannya lihai mencari keberadaan benda tipis itu. Dapat. dengan pertimbangan dan berpikir berkali-kali ia pun memutuskan untuk kembali menyalakan ponselnya itu.

Pemandangan pertama yang tersuguh kala ponsel itu menyala adalah 57 panggilan tak terjawab dari kekasihnya, oh tidak ralat managernya. Sungguh tak Sudi Jennie mengakui lelaki brengsek penuh napsu itu adalah kekasihnya.

Air mata itu perlahan kembali mengalir menciptakan perih pada manik mata indah itu. Sengguk pilu nan halus terdengar tipis di rungu orang-orang yang melintas melewati Jennie. Namun tak ada yang peduli, hanya melihat ke arah Jennie lalu pergi begitu saja. Ya begitulah dunia, jangan berharap lebih kepada dunia yang penuh kekejaman ini.

Jennie tersadar, dengan cepat ia menghapus air matanya dengan punggung tangan wanita itu. Berusaha menahan tangis agar tak kembali mencuat ke permukaan. Hidung nya sudah memerah, mata yang tentu nya bengkak akibat lelah memproduksi air mata tanpa henti. Nafasnya begitu sesak, hidungnya tersumbat membuatnya terpaksa harus bernafas melalui mulut untuk tetap hidup.

Dentingan ponsel tanda pesan masuk membuat atensi Jennie sepenuhnya fokus pada ponsel di genggamannya itu. Perlahan menarik nafas berusaha mengontrol degub jantungnya, Jennie membuka pin ponsel lalu beralih ke pesan yang baru saja masuk tadi.

Maniknya bergerak perlahan menatap tulisan singkat yang terpampang di ponselnya, membacanya dalam hati.

kak hyunjin
ku tunggu di hotel pukul 7, kita belum selesai sayang..

*read

Ya begitu isi pesannya. Jennie mengatupkan mata nya perlahan, rasa pusing pun menghampiri nya. Memilih mengistirahatkan kepala nya pada bangku taman sambil terus menimbang keputusan apa yang akan ia ambil.

Menghidupkan kembali ponselnya sesaat. Pukul 7.15 malam bukankah ia sudah terlambat? namun kaki nya masih enggan beranjak dari taman itu. Masih setia menimbang keputusannya.

Hingga tak terasa beberapa jam telah berlalu begitu saja, yang dilakukan Jennie hanya diam di taman itu meratapi bintang, sesekali air mata itu akan kembali menetes namun dengan cepat ia menghapusnya.

sekarang pukul 10. 15 malam. Udaranya semakin dingin di taman ini. Kaki mulus Jennie seakan beku diterpa angin dingin yang menusuk hingga tulangnya. Baiklah, tidak ada pilihan lain selain kembali pada Hyunjin. Ini bukanlah kota nya. Ia tak punya siapapun untuk numpang menginap malam ini.

Kenapa? bukankah Jennie bisa menyewa hotel? Ya, tentu bisa jika ada uangnya. Namun kesialan Jennie bertambah berkali-kali lipat. Saat ia memeriksa dompetnya, hanya terdapat tiga lembar kertas 5000 won. Tentu tak cukup untuk menyewa hotel, ATM nya semua ia serahkan pada asistennya, tentu sungguh tak sopan mengganggu waktu libur asistennya itu apalagi di malam hari seperti ini.

Jennie pun perlahan berdiri dari duduk nya, berjalan lemah menuju mobil yang ia parkir kan di pinggir taman. Menjalankan mobil itu menuju hotel tempat ia menginap beberapa hari ini. Di Busan Hyunjin memang memiliki apartemen pribadi namun Jennie menolak untuk tinggal bersama kekasihnya itu. Ia lebih memilih tidur di hotel untuk beberapa hari sampai pekerjaannya disini selesai.

Sampai. Kembali menghidupkan ponsel nya dan melihat waktu yang menunjukkan pukul 11 malam tepat. Menghela nafas kasar berusaha menetralkan degup jantungnya yang terus ber disko ria di dalam tubuh mungilnya.

Memasuki lift dan menekan tombol bertuliskan angka 12 itu dan menunggu. Pintu lift terbuka membuat Jennie segera keluar dari sana dan berjalan menyusuri lorong yang sepi menuju kamar inap nya.

Merogoh tas nya untuk mencari kartu kuning untuk membuka pintu kamar ini.

Perlahan ia memasukkan kartu itu, dan membuka pintu. Kaki jenjangnya melangkah pelan memasuki kamar hotel.

Jennie membulatkan mata sempurna melihat pemandangan pertama yang disuguhkan saat ia masuk. Rahangnya terbuka serasa ingin lepas dari tempatnya.

tik.

Air mata berharga nya kembali menetes.

Tampak dua insan disana menoleh serempak menyadari kehadiran seseorang diruangan itu selain mereka.

"j-jennie..."

"keluar!!" tegas Jennie dengan membalikkan badannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

jangan lupa vote and komen..

ImprisonedWhere stories live. Discover now