8

8 0 0
                                    

Ada jeda hening lama. Tidak ada sapa bertukar kecuali tatapan mata. Rendra dan Dindra berdebar-debar karena Kirana menyorotkan nyala hijau tajam. Kepala berpikir keras, mengurai keadaan, mencari cara atau sekadar celah namun nihil. Rendra tahu jika sekarang ia telah tertangkap basah. Tidak ada cara lain baginya untuk lepas dari keadaan seperti ini. Meski diam namun Dindra juga serupa. Meski jahil, namun gagasan untuk lari dan pergi segera ia buang jauh-jauh.

"Sembah bakti kami, Guru Kirana." ujar Rendra menyapa. Tubuh dan kepala menunduk sedikit. Dua tangan mengatup dengan wajah. Dindra menurut serupa.

"Rendra, Dindra," balas Kirana dengan suara berat seakan sedang menahan rasa marah dalam dada. Panggilan tanpa gelar kehormatan menjadi pertanda jika saat itu sang apsari sedang memperlakukan Rendra dan Dindra layaknya anak-anak. "buku apa yang kalian simpan di dalam kotak kaca?"

"Kitab Ramuan Jamu Batara Sastroamidjoyo mengganti buku Kanjeng Romo. Kitab Pugaran Batara Sumodijoyo mengganti buku Kanjeng Sibu. Saya yang mengganti kedua buku itu, Dindra tidak berada di dalam gedung perpustakaan." jawab Rendra dalam sekali hela.

"Oh, jadi kamu mengganti kedua buku itu? Cerdik juga akalmu!" bisik Dindra tiba-tiba. "Tetapi, kalau sudah diganti, bagaimana caranya Guru Kirana bisa tahu?"

"Tidak Guru Kirana menemukan kita karena menyadari kedua buku itu telah dicuri melainkan suasana hati. Guru Kirana merasakan galau dan gamang perasaan kita berdua. Baru setelahnya beliau memeriksa kedua buku itu untuk memastikan." jawab Rendra panjang. "Kiranya demikian, Guru Kirana?"

Tiada perubahan pada raut wajah Kirana menjadi jawaban. Bergemuruh dada sang apsari dengan rasa marah dan kecewa, namun di antara semua itu ada juga pujian akan cemerlang pikiran Rendra.

"Secara sadar saya hendak mengakui jika saya telah melanggar hukum dan berbuat salah. Pun, saya yang menghasut Dindra. Kiranya demikian dapat menjadi pertimbangan akan hukuman pada kami berdua." lanjut Rendra.

"Hei, apa yang kamu katakan?" sambar Dindra. "Tidak! Tidak begitu, Guru Kirana! Aku juga ingin ikut atas kemauanku sendiri! Aku juga akan menanggung hukuman yang sama seperti Rendra!"

"Sudah, Dindra. Biar saya yang menanggung semuanya. Harus tetap ada seseorang dari keraton yang tampil baik di hadapan para penduduk. Jika kabar kita berdua masuk kurungan tersebar, akan jadi cemong pada Kanjeng Romo. Setidaknya hanya ini bakti terakhir yang dapat saya berikan."

"Tampil baik? Bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu pada keadaan seperti ini!" balas Dindra. "Tidak ada hubungannya, Rendra!"

"Jelas ada hubungannya! Meski Kanjeng Romo telah berkata jika yang cakap dapat membina Kincir Ametu, bukan berarti keluarga keraton tidak memiliki wibawa."

"Omonganmu ngelantur! Tidak habis pikir kebiasaan burukmu yang suka berpikir berlebihan itu kambuh sekarang!"

"Jika kamu menyadari siapa kita di hadapan para penduduk, tentu kamu akan berpikiran sama sepertiku."

"Kalau ada yang jadi pikiranku, maka itu adalah perasaanku sendiri, perasaanmu, Romo, Sibu dan Guru Kirana! Lihat yang ada di depan mata, Rendra!"

"Lihatlah tiga sampai empat langkah kedepan, Dindra! Lihatlah lebih jauh, agar kamu dapat mempersiapkan diri. Begitu nasihat Kanjeng Romo!" balas Rendra.

"Rendra! Dindra! Cukup!"

Sentakan galak menghentikan adu mulut. Kirana berjalan mendekat. Kilau hijau terangnya sudah redup.

"Apa yang telah kalian berdua lakukan? Tidakkah saya dan juga para tetuamu berpesan agar tidak mencuri? Lebih-lebih mencuri dua buku ini? Sadarkah kalian apa yang telah kalian perbuat?" buru Kirana galak. "Sekarang kalian telah melanggar batas! Saya bahkan tidak dapat membayangkan apa yang akan menimpa kalian nantinya! Kalian telah melanggar pamali Kincir Ametu!"

Purana GeniOù les histoires vivent. Découvrez maintenant