65

1 0 0
                                    

Jika dunia laksana hidup, maka tentulah terdapat pada dunia segala yang mengait pada nafas setiap mahluknya. Mereka tidak hanya ditemukan pada dinding waktu, malahan, waktulah yang membawanya kepada seluruh mahluk hidup. Sejatinya, waktu hanyalah perantara. Karena setiap apa-apa yang terdapat padanya bukanlah milik sang waktu, juga bukan milik sang ruang. Pada peristiwa kehidupan terdapatlah segala unsur yang sudah berada di dunia, semenjak lama, semenjak awal penciptaan jagad semesta. Pada jiwa yang sadar akan lahir sebuah rasa menghamba jika sejatinya hidup bukan melulu tentang jiwa diri sendiri. Maka benarlah jika pertolongan akan tiba pada mereka yang berpikir.

Pada penciptaan alam dunia adalah hasil persilangan antara mereka yang sudah dipasang-pasangkan. Atas dan bawah, gelap dan terang, panas dan dingin, jantan dan betina, laki-laki dan perempuan, hingga wujud dan tak wujud. Semua terjadi pada tempat dan letaknya yang sesuai. Pada jagad dunia wayang adalah buah kama sang langit dan rahim sang bumi. Dari tetesan nyawa yang dihantarkan hujan, meresap pada tanah kemudian mengalir bersama menuju danau. Air yang menyebar permukaan melahirkan tanam-tanaman, dari tanam-tanaman membuat marga satwa dapat mengisi bumi yang kemudian manfaatnya ikut menebar bersama gerak ruang. Lahir dari bumi, kembalilah pada pelukan bumi.

Pada hening dan sunyi, jika telinga tertutup dari bising dunia, akan menyisakan pendengaran jiwa yang membimbing menuju sabda alam. Pada-Nya tempat mengadu sampai gaduh.

"Sembah bakti hamba, Eyang Resi."

Suara wanita memecah hening. Resi Antasura yang masih berada pada sikap semadinya membuka kedua mata lalu menoleh ke belakang. Senyum yang ia lempar sebagai sapa teruntuk suara akrab yang menemuinya fajar itu.

"Baktimu saya terima, Ratna. Terima kasih. Apa kabarmu hari ini?"

"Kabar hamba baik, Eyang Resi. Semoga kesejahteraan selalu mengiringi Eyang Resi hingga akhir waktu nanti." balas Ranta sembari membukukkan kepala.

"Semoga alam mendengar dan merestui do'a mu, Nak. Kiranya adakah yang dapat saya bantu hari ini? Apakah ada perihal yang engkau butuhkan?"

"Tidak, tidak, Eyang Resi." jawab Ratna sambil terkekeh pelan. "Kedatangan hamba kemari untuk menengok kabar Eyang Resi."

"Tidakkah baru semalam saya berpulang dari kediamanmu?" tanya Resi Antasura sembari tertawa. "Tidakkah jeda satu malam membuatmu khawatir? Tidakkah engkau mengkhawatirkan jalan saya pulang ke sini penuh bahaya dan rintangan? Dan bukankah fajar ini saya menerima kedatanganmu melalui jalan yang sama?"

"Hehehe!" kekeh Ratna salah tingkah.

"Bagaimana kabar Adya? Juga anak-anak yang lainnya? Tidakkah terlalu dini juga untukmu berjaga hari ini? Matahari masih akan terbit beberapa saat lagi. Engkau seharusnya beristirahat lebih lama lagi."

"Adya, dan anak-anak yang lainnya masih terlelap, Eyang. Sesungguhnya, saya sendiri baru terlelap sebentar. Entah kenapa mata ini sulit untuk terpejam. Mungkin karena sedang kedatangan tamu. Rasa menjamu seperti ini sudah lama sekali tidak saya rasakan. Maka saya memutuskan untuk berjalan-jalan, sekadar mencari udara segar. Dan sungguh, Eyang, saya sama sekali tidak berniat mengusik semadi fajar Eyang Resi. Tanpa sadar langkah kaki saya terhenti di sini."

Tempat Ratna berada sekarang adalah kediaman Resi Antasura. Letaknya hanya penghuni Eka Pratala yang tahu. Tempat itu bukan berupa bangsal pendopo seperti halnya tempat tinggal Ratna namun sebuah goa. Goa itu bukan sembarang goa yang terbentuk asal-asalan. Goa itu memiliki beberapa ruangan, goa itu juga terhiasi aneka perabotan seperti meja dan kursi, alasnya pun berlapis karpet bagus. Remang dalam goa itu oleh nyala lampu obor. Goa itu laksana sebuah rumah yang terbentuk menempel pada bumi.

Purana GeniWhere stories live. Discover now