57

2 0 0
                                    

Derap lari kuda menghentak bumi berturut-turut dan tanpa henti. Gemanya diredam pasir dan debu yang menghampar sepanjang mata memandang. Yang berada pada pandangan mata sekarang adalah coklat terang, belum terlihat tanda-tanda adanya peradaban. Jika pun ada yang berada di sana, hanyalah bebatuan besar yang bentuknya itu-itu saja. Terik matahari siang yang menyengat akan membakar kulit jika bukan atas perlindungan jubah serta tudung yang melapisi pemakainya. Dan benarlah cerita kegagahan kuda-kuda perang Argakencana, hanya kelima wahana ksatria itu yang pantang memperlihatkan rasa lelah.

Sepanjang jalan, sambil menunggu habisnya hari dan panjangnya jarak, ada obrolan tentang cerita akan Begal Kelabang Merah. Obrolan yang semenjak malam sudah berlangsung, sampai siang ini juga masih belum usai. Segala dugaan dan curiga, baik yang beralasan atau yang asalan-asalan, tidak tersembunyi barang satu juga. Mulanya ingin menghentikan debat kusir, namun Panji segera menyadari apalah guna memberhentikan obrolan yang bermula dari kabar burung?

Satu orang yang diharapkan menjadi juru kunci, hanya Pak Oman. Segala tanya yang berputar dari mulut empat orang pemuda akan berakhir di telinga sang kepala penjaga keraton. Namun begitu, sang ksatria tua hanya dapat menjawab dengan termangu atau menggeleng lemah, sembari raut wajahnya mengawang-awang. Seakan-akan sedang mencari jawaban yang tidak ada di langit-langit kepalanya. Dan entah mengapa, sang ksatria juga merasa ingatannya samar-samar.

Ketika matahari sudah jatuh, dan rembulan sudah mulai mengintip, langit berubah nila, panas berubah dingin karena tiupan angin kering. Pak Oman memimpin rombongan untuk mencari sebuah batu besar yang dapat dijadikan tempat bermalam, sebuah batu yang dapat melindungi mereka dari tiupan angin malam serta melindungi kemah agar tidak terbawa terbang. Sepanjang pandangan mata ada banyak sekali batu seperti yang Pak Oman minta. Bentuknya pun, beragam dan bagus. Satu yang menarik perhatian Jaka adalah batu setinggi rumah yang berlubang tengahnya. Tiupan angin tanpa henti selama ratusan warsalah yang membuatnya demikian. Mungkin tidak terlihat gagah lagi dengan bentuknya yang cacat, namun siapa tahu jauh di seberang padang tandus itu ada sepasang telinga yang menikmati siul sabda alam semesta.

Namun sayang, batu yang jadi ingin hati tidak mendapat restu sang ksatria tua. Justru lubang besar yang mengaga pada badan batu menjadi pertanda jika di sana adalah jalur angin lewat. Bermalam di sana sama saja meminta malam untuk mencuri tenda. Maka akhirnya, lima ekor kuda itu berpindah lagi.

Hanya berselang sepuluh hela nafas setelahnya, rombongan berada pada hamparan kosong lagi. Kelompok bebatuan yang menjadi pengharapan selanjutnya berada pada wilayah yang berbeda. Bayangannya sudah terlihat mata, hanya tinggal memacu kuda sedikit lagi maka sampailah mereka. Namun begitu, di tengah jalan mereka terhenti. Adalah Jaka lagi yang berseru. Panji sudah bersiap mengomel pada saudara kembarnya, tetapi yang ini berbeda. Jaka tidak melihat bebatuan besar namun sesuatu yang lebih kecil lagi. Dari kejauhan bayangan itu mempunyai bentuk kotak namun berdirinya pincang. Satu sudutnya menghunus arah langit sementara sudut-sudutnya yang lain menancap tanah. Kotak itu tidak sendirian, ada dua lagi yang nasibnya serupa. Dan bersama mereka semua, terdapat benda-benda ganjil yang berserakan di atas tanah.

"Kang Parikesit!" seru Jaka terkejut sambil menunjuk arah depan.

Seolah menangkap apa yang hendak Jaka maksudkan, berubah terkejut juga raut wajah Parikesit. Bayangan kotak-kotak itu rupanya kereta kuda. Hancur luluh lantak tidak beraturan. Jika sampai di sana sudah mengejutkan Jaka dan Parikesit, pemandangan yang tiba selanjutnya membuat wajah pucat pasi. Di antara reruntuhan kereta kuda yang hancur, nampak pula banyak tubuh manusia bergelimpangan tidak bergerak. Bau busuk dan bekas hitam noda darah di atas tanah dan pasir menjadi pertanda jelas jika mereka mati terbunuh. Pak Oman buru-buru melompat turun dari kudanya kala Ginanjar dengan cepat ingin menghampiri orang-orang yang bernasib naas itu.

Purana GeniWhere stories live. Discover now