102

2 0 0
                                    

Di depan pintu gerbang gorong-gorong ramai orang-orang berkerumun membawa perkakas-perkakas yang mereka miliki untuk diberikan pada junjungannya. Jaka dan Parikesit memeriksa perkakas yang telah terkumpul. Di hadapan mereka ada martil, gada, golok, pisau sampai palang-palang kayu. Sudah tidak dapat berpikir dengan tenang lagi keduanya, yang penting ada perkakas-perkakas berat dan tumpul yang dapat digunakan untuk memukul dan menumbuk.

"Mungkin aku lupa, tetapi apa rencana Kang Ginanjar semula? Caranya menghancurkan gada itu?" bisik Jaka pada Parikesit.

"Tidak ada. Pukul sampai hancur." jawab Parikesit pendek.

"Memangnya bisa begitu?"

"Ya tentu saja tidak. Mungkin inginnya Kakang Ginanjar semula tidak benar-benar dihancurkan di sini. Tetapi di bawa dahulu ke tempat yang jauh, barulah di sana mencari cara menghancurkan Gada Inten."

"Satu hal yang menggantung pikiranku, kenapa penjahat itu tiba-tiba malah meminta kita menghancurkan Gada Inten? Bukankah mereka ingin memilikinya? Apa mungkin gegara melihat kita tadi yang hendak menghancurkan Gada Inten?"

"Entahlah, Jaka. Mungkin orang itu akhirnya merasa jika Gada Inten jatuh ke tangan Panguntalraga, ia juga bisa kena celaka."

"Bisa-bisanya anggota gerombolan yang sama malah berkhianat seperti itu."

"Lawannya musuh adalah kawan tidak berlaku di sini, Jaka." ujar Panji yang tiba belakangan. Padanya ada perkakas lain lagi seperti celurit, arit sampai cangkul. "Bukan berarti jika Gada Inten bisa dihancurkan maka Panguntalraga jadi musnah dengan sendirinya."

"Benar. Kita tetap harus memikirkan cara untuk menanggulangi Panguntalraga." lirih Parikesit.

"Bersabarlah, Kang. Gusti Arjuna pasti akan baik-baik saja." hibur Jaka.

Parikesit menoleh ke arah jauh. Pada sebuah reruntuhan tinggi di mana seorang laki-laki bertubuh kekar dan berambut hitam panjang sedang duduk bersila menghadap kumpulan ksatria dan prajurit. Namun begitu, bukan padanya Parikesit menaruh tatapan pilu, melainkan pada seorang lain lagi yang berada di sebelahnya. Arjuna duduk bersandar pada puing. Nafasnya sudah lemah, wajahnya pucat dan kesadarannya hampir hilang. Tidak terbayang racun yang tersisa dari pertarungan melawan Sirip Biru sekarang mulai menggerogoti dengan ganasnya.

"Di mana Kakang Ginanjar?" tanya Parikesit pada Panji.

"Masih mencoba menenangkan para penduduk." jawab Panji pendek.

Sekarang arah pandangan ganti menuju pintu gorong-gorong dua puluh langkah di sebelah barat. Nampak Ginanjar dikawal beberapa orang prajurit sedang melayani ramai keluh-kesah para penduduk yang ketakutan. Tatapan matanya pilu namun bibir memaksakan tersenyum. Kata-katanya membujuk ramah agar para penduduk mau untuk masuk ke dalam gorong-gorong bersama para prajurit. Sayangnya, tidak semua hendak mendengar kata-katanya. Banyak dari mereka yang mengadu, bahkan nampak beberapa orang ibu yang menumpahkan rasa dukanya pada sang putra mahkota.

"Kasihan Kakang Ginanjar." bisik Panji.

"Di saat genting seperti ini saya tidak dapat membantu apa-apa. Saya merasa sangat tidak berguna." bisik Parikesit.

"Jangan berkata seperti itu, Kang. Kita pikirkan bagaimana caranya menghancurkan Gada Inten dan mencari cara mengulur waktu sampai bala-bantuan tiba. Dengan begitu sama artinya juga meringankan beban Kang Ginanjar." ujar Jaka.

"Sejujurnya, saya tidak yakin jika kita dapat menghancurkan gada itu dengan perkakas seperti ini." keluh Panji menggaruk-garuk kepalanya.

"Semoga ini dapat membantu kalian."

Purana GeniWhere stories live. Discover now