51

4 0 0
                                    

Dari dalam kedaton terdengar suara gebuk memburu berturut-turut. Diantaranya terdengar juga suara laki-laki terengah-engah. Namun begitu, tiada seorang dari abdi dalam yang ambil pusing. Tidak juga dari penghuni dalam yang menggerutu karena bisingnya. Semuanya maklum. Mendapati Ginanjar berlatih ilmu bela-diri semenjak tengah hari sudah menjadi pemandangan umum.

Tiang mok yan itu penuh dengan bekas pukul. Malahan, batangnya yang paling atas terlihat patah. Ginanjar tidak sedikit pun melemah. Tatapan matanya tetap tajam memburu tiang mok yan, seakan lawannya itu tidak akan pernah menyerah. Dua hingga tiga, terus sampai enam jurus ia kerahkan. Meraung kencang sang pangeran memanggil tenaganya agar meledak lagi. Sudah begitu, tetap saja tiang kayu penuh palang itu tidak berubah hancur. Paling-paling hanya meninggalkan bekas saja.

Pengulangan adalah ibu dari ilmu pengetahuan. Maka Ginanjar kembali lagi pada kuda-kuda jurus andalannya. Meski sudah terbukti tidak mempan, ia tidak terlihat hendak menyerah. Tinju yang sempat meregang ia kepalkan lagi. Kedalamnya ia alirkan tenaga yang sama seperti yang ia kerahkan barusan, atau malah lebih besar lagi.

"Sembah bakti, Gusti Raden."

Suara yang terdengar dari belakang membuyarkan perhatian Ginanjar. Didapatinya Pak Oman sudah berada di tepi tengah taman. Duduk bersimpuh dengan kedua tangan terkatup di depan wajah yang tertunduk.

"Pak Oman?" sahut Ginanjar sambil memberi isyarat agar sang kepala penjaga gerbang istana berdiri.

"Daulat, Gusti. Mohon maaf, bukan maksud hamba hendak menganggu namun ada yang ingin bertemu."

"Bertemu dengan saya? Siapakah gerangan, Pak?"

"Kiranya Nak Jaka. Sedari tadi sudah mengetuk pintu namun tidak ada yang menjawab, begitu katanya. Kebetulan hamba berpapasan dengannya ketika hendak masuk ke dalam."

"Jaka? Apa Pak Oman bertanya ada keperluan apa dengan saya?"

"Katanya hanya ingin bertemu."

Ginanjar termenung sebentar kemudian berkata lagi,

"Katakan padanya agar kembali saja. Saat ini saya tidak ingin diganggu."

"Daulat, Gusti Raden Anom." jawab Pak Oman sembari menunduk lagi.

Sempat menghela nafas panjang kemudian geleng-geleng kepala. Ginanjar hanya ingin kembali lagi pada latih bela-dirinya. Kuda-kuda yang sempat terlepas ia ambil kendali lagi. Tenaga yang menguap ia kumpulkan lagi. Sebentar kemudian tinju keras dan kuat itu kembali menghujam tiang mok yan tanpa ampun.

Nama Jaka yang ia dengar rupanya bersarang dalam pikiran. Dalam bayangan mata Ginanjar, wajah salah seorang dari kembar itu muncul kabur di tiang mok yan. Ingatan akan latih tandingnya dengan Jaka tempo hari berseliweran di dalam kepala. Nyeri di tangan dan kaki, juga rasa lelah akibat latih yang berkepanjangan, membuat hatinya menjadi panas. Ginanjar menyerang semakin ganas seakan-akan tiang mok yan itu mewujud Jaka. Lincah Ginanjar bergerak ke segala arah karena bayangan Jaka yang menyerang benar-benar mewujud. Hunusan tangan Jaka yang meliuk bagai ular mencoba meraba Ginanjar dan ia tahu jika lawannya hendak mengunci gerakannya lagi. Maka naluri membawa Ginanjar merunduk dan merapatkan tubuhnya pada tiang mok yan. Satu sapuan kaki meruntuhkan tiang mok yan, namun belum sempat tiang kayu itu menyentuh tanah, Ginanjar sudah terlebih dahulu menyarangkan tendangan sekuat tenaga. Tiang mok yan itu hancur seketika. Lubang besar akibat tendangan itu mematahkan batangnya jadi dua.

Terengah-engah Ginanjar. Kesadaran yang kabur karena kalap perlahan-lahan kembali. Jaka gadungan yang tergeletak di atas tanah sekarang kembali jadi wujudnya yang kayu. Sedikit rasa sesal merasuk hati. Tidak hanya tiang mok yan kawannya berlatih jadi hancur, namun juga karena tidak dapat mengendalikan diri. Hembusan angin yang berhembus dingin menyadarkan Ginanjar jika ia tidak hanya lepas kendali namun tidak sadar akan waktu. Karena matahari yang semula tinggi sekarang sudah jatuh. Warna jingga pekat mulai mengintip dari ufuk barat.

Purana GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang