130

10 1 0
                                    

Masih dengan wajah sembab dan basah oleh air mata, Prabu Mahawira tertunduk sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Haru yang menghuni hatinya sekarang diusik resah. Kalimat demi kalimat terucap melalui suara tua Widura, namun semakin banyak kalimat itu terucap dan terdengar masuk telinga, semakin jadi gelengan kepala Prabu Mahawira.

"Tidak. Tidak, eyang!" gumam Prabu Mahawira. "Tidak dapat! Ananda tidak dapat melakukan itu!"

"Nak, janganlah berkeras hati. Masih belum terlambat membuka Kincir Ametu pada dunia. Masih belum terlambat membaktikan dirimu pada dunia." bujuk Widura. "Dan belum terlambat bagimu untuk menebus dirimu sendiri."

Prabu Mahawira jadi semakin resah. Sekarang ia merengsek mundur dua langkah kemudian berdiri. Sang raja berjalan menjauh, membelakangi Widura, satu tangannya tertahan di pinggang sementara satu tangannya lagi mendarat di kening yang menggeleng.

Yang Rendra dan Dindra ketahui selama kedua telinga mendengar pembicaraan keduanya, kali itu bukanlah kali pertama Widura membujuk Prabu Mahawira. Sudah habis ragam kalimat dan kata, sudah lewat waktu berselang tetapi yang hendak dituju masih berkeras.

"Nak," panggil Widura lagi.

"Tidakkah eyang memahami jika tidak mudah bagi ananda menjalani hidup demikian?" ujar Prabu Mahawira cepat kemudian. "Tidakkah eyang masih mengingat apa yang ananda utarakan dahulu?" Prabu Mahawira jatuh pada duduk bersimpuh lagi. Raut wajahnya sukar dan mengiba. "Mengapa, eyang? Mengapa eyang kembali meminta hal yang mustahil ananda untuk lakukan? Padahal dahulu eyang telah merelakan ananda?"

"Eyang sama sekali tidak pernah merelakanmu, ngger." jawab Widura dengan raut sedih. Jawabannya membuat Prabu Mahawira jadi semakin gusar raut wajahnya. "Kala itu eyang masih belum dapat memahami. Namun seiring berjalannya waktu, ketibaan Mahabharata, musnahnya Kurawa, akhirnya eyang mengerti. Duka bukanlah alasan untuk menutup diri. Duka justru jadi alasan bagi eyang untuk merengkuh semua orang yang eyang cintai. Termasuk dirimu. Terutama dirimu."

"Oh, eyang," lirih Prabu Mahawira kemudian tertunduk. "ananda sama sekali tidak berpunya di dunia ini. Tidak ada tempat untuk ananda berada di Marcapada, Mayapada apalagi Arcapada. Tidakkah eyang sadari jika ananda melakukan semua ini pula karena ananda sangat menyayangi Eyang Yamawidura? Eyang Padmarini? Semua sedulur Pandawa dan Kurawa? Ananda rela menjadi tawur demi dunia yang terbebas dari Lodira! Jika...oh! Jika ananda buka gerbang Kincir Ametu pada dunia, tidak terbayang kegelapan itu akan kembali menghantui ketiga alam! Semua yang ananda perjuangkan, semua yang Kakang Wisanggeni dan Aninda korbankan akan jadi sia-sia!"

"Sampeyan berkata seakan-akan aku dan Jeng Ninda tidak ada saja, di."

Prabu Mahawira terkejut. Terhenyak sang raja hingga ia menegakkan kembali tubuhnya. Perlahan-lahan Prabu Mahawira menolehkan wajahnya ke belakang, menuju sumber suara yang baru tiba tengah berada.

"Oh, tidak..." lirih Prabu Mahawira kembali tertunduk kemudian menangis lagi.

Wisanggeni berada di belakang sang raja, berdiri gagah dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Raut wajahnya tajam dan galak melihat pada Prabu Mahawira.

"Apa yang sampeyan lakukan bukanlah cerminan hati dan pikiranku. Atau cerminan Jeng Ninda dan semua orang yang membantu sampeyan pada Perang Akbar Sambiharja. Hanya sampeyan seorang." ujar Wisanggeni lagi dengan nada sedikit galak. "Aku tidak akan bicara berputar-putar. Sampeyan keliru. Sampeyan harus membuka gerbang Kincir Ametu."

"Kenapa..." lirih sang raja berulang-ulang. "kenapa Eyang Yamawidura dan Kakang Wisanggeni meminta hal yang mustahil?"

"Justru aku yang ingin bertanya kenapa sampeyan sampai memutuskan untuk mengunci Kincir Ametu dari dunia? Sampeyan gentar? Akan apa?" tanya Wisanggeni berturut-turut. "Rudra sudah menitis masuk sampeyan. Lodira juga sudah jadi sampeyan. Apa risaunya, di?"

Purana GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang