42

7 0 0
                                    

Dalam lembar hikayat Marcapada, tersimpanlah sebuah kisah dari masa yang telah lampau. Sebuah kisah tentang perjuangan bangsa manusia. Sebuah kisah tentang kegigihan hati melawan gelap yang pekat. Namun begitu, kisah itu bukan tentang keagungan atau kepahlawanan, melainkan tentang kelam dan ngerinya jemari pembawa maut.

Pada kisah itu terdapat lima nama, lima julukan, lima jari yang membuat malam menjadi semakin pekat. Mereka adalah lima kelompok begal yang tersebar pada penjuru jagad wayang. Begal Bulan Sabit dengan sirepnya menyihir seisi Lesanpura menjadi kacau-balau. Begal Lahar Merah merongrong wibawa Cempalareja hingga nyaris jatuh sang raja dari singgasananya. Begal Iblis Kubur mencabut nafas kehidupan Danau Tirtakahyuna hingga tiada seekor juga yang dapat para nelayan ambil dari isinya. Begal Iblis Hijau mempertontonkan bahwasanya iblis benar-benar mewujud, dan semenjak kemunculannya, niscaya tidur tiada akan pernah lagi terasa nyenyak. Sementara jari yang terakhir adalah Begal Kelabang Merah, racunnya meluruh Pegunungan Indralaya, membuat udara segar dan sejuknya menjadi mematikan.

Meski masa-masa gelap itu telah lewat, namun angker dan mengerikannya kisah itu masih membuat semua orang merasa gelisah dan cemas. Bayangan akan kehadiran orang-orang jahat itu seakan tidak akan pernah lepas menghantui mereka yang berhati suci dan tulus. Maka atas dasar niat dan kasih sayang yang tulus, ia yang menitis sebagai penjaga ruang dan waktu bumi jagad wayang menjelma timbunan pasir, mengubur kisah itu dalam-dalam hingga tidak akan pernah terlihat lagi wujudnya, hingga tidak akan pernah lagi terdengar bisiknya yang menyesatkan.

Semenjak saat itu peradaban umat manusia dapat kembali berjalan menurut laju waktunya masing-masing. Sinar matahari di pagi hari kembali terasa hangat, temaram rembulan kembali menenangkan dan siraman hujan kembali menghidupi setiap ladang. Hari-hari damai dan bahagia kembali lagi di Marcapada.

Namun begitu, meski Niken Mustikawati sudah menjabarkan lagi ringkasan kisah itu hingga akhirnya, tidak membuat raut wajah Carika menjadi lega. Malah sebaliknya, ia terlihat begitu tegang. Langkahnya cepat dan terburu-buru ketika melewati lorong gelap yang menghubungkan bangsal-bangsal peristirahatan para tamu menuju aula gedung kadipaten.

"Saya tidak percaya jika saya dapat melewatkan sejarah sepenting itu!" gerutu Carika pelan pada dirinya sendiri.

"Maaf, Nyai, jika saya malah mengingatkan Panjenengan pada kenangan yang tidak baik." ujar Niken Mustikawati berusaha menyusul di belakang.

"Tidak, tidak, Nyai," sahut Carika cepat. "Eyang Guru Resi berpesan pada kami untuk tidak melupakan sejarah. Saya hanya sedang kesal pada diri saya sendiri yang telah lalai."

"Tetapi ini hanya terkaan selewat saya saja. Dan jika ternyata Argakencana menganggap cerita ini hanya berupa dongeng saja maka...

"Nyai Niken," Carika tiba-tiba berhenti kemudian berbalik badan. Matanya menatap tajam namun bibirnya menyunggingkan senyum. "dapatkah saya bertanya dari mana keraton memboyong Nyai Niken Mustikawati sampai tiba di istana keraton?"

"Eh?" sahut Niken Mustikawati terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Carika. Salah tingkah sekarang sang apsari tidak tahu harus menjawab apa. Pun, ia tidak siap. "Saya...saya...

"Sudahlah, maaf telah bertanya yang tidak-tidak," sanggah Carika cepat kemudian. Ia menggandeng tangan Niken Mustikawati kemudian membawanya berjalan cepat lagi. "tidak penting dari mana Nyai Niken berasal, masih ada yang perihal yang lebih penting. Kita harus segera mengabarkan Gusti Adipati secepatnya!"

Niken Mustikawati kembali di depan gerbang masuk aula kadipaten. Seorang penjaga yang berjaga di sana menyapa Carika dan Niken Mustikawati dengan ramah. Rupanya, gelaran rapat sang adipati baru saja usai. Di dalam hanya tersisa sang adipati bersama dua ksatrianya sekarang sementara yang lain sudah berpamitan terlebih dahulu. Carika tidak mempedulikan siapa yang tersisa, sang adipati yang menjadi tujuannya.

Purana GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang