66

6 0 0
                                    

Pendaran hijau terang menyapu abu-abu di tepian. Licin dan dingin permukaan menjadi pertanda jika basah yang berada tiga langkah di depan dapat saja menenggelamkan tapak kaki. Di tepian, kedua mata dapat melihat dasarnya. Jernih air yang mengalir di dalam tanah jadi pertanda lain jika air di sana jernih, tidak perlu ragu untuk meminumnya karena pasti ramah dengan perut. Namun begitu, jauh di depan sana pendaran hijau terang itu perlahan-lahan berubah pekat. Hijau tua tanda jika di depan sana dalam. Tapak kaki tentu tidak dapat menjangkau dasarnya. Itu juga kalau dasarnya datar, tidak penuh dengan taring-taring batu yang dapat menusuk kaki.

"Segar sekali!" seru Jaka sambil membasuh wajahnya. "Rasa-rasanya aku jadi ingin berenang! Hehehe!"

"Kalau kamu tenggelam, saya tidak akan menolong." sahut Ginanjar sekenanya. "Jadi, ini sungainya?" tanyanya kemudian pada Adya.

"Ya, ini tempatnya. Hati-hati melangkah, jangan sampai terpeleset."

"Saya tidak melihat ada ikan di sini." kata Ginanjar lagi sembari mendekat tepi sungai. "Apa mereka di dalam?"

"Ikan-ikan dari laut, mereka kembali dari perjalanan panjang untuk bertelur di sini. Mereka akan mati setelah membuahi telur-telur itu. Ikan-ikan itu yang akan jadi buruan kita."

"Tunggu, apa mungkin ikan dari laut berenang ke tempat seperti ini? Jika saya tidak keliru mengukur jarak, kita masih berada di tengah daratan, bukan?" tanya Ginanjar.

"Cukup pindahkan telur-telur itu dari tempat mereka berada sebelumnya, maka anak-anak ikan itu akan segera mengingat tempat mereka berasal. Ikan-ikan yang tiba ini, juga mulanya berasal dari tempat ini." terang Adya. "Dan jangan remehkan tekad sepenuh jiwa. Apa saja mungkin terjadi."

"Kata-kata Tuan Resi Antasura?" tanya Ginanjar terkekeh, Adya menjawab dengan anggukan pelan. "Omong-omong, apakah beliau sudah tiba di sini? Lalu, dengan apa kita akan memancing ikan-ikan itu?"

"Eyang Resi biasanya membawa kail, mungkin sebentar lagi tiba atau sudah berada di tepian yang lain. Sambil terus jalan kita akan cari."

"Tidak perlu, Tuan Resi sudah tiba." celetuk Jaka tiba-tiba.

Adya dan Ginanjar tidak menyahuti, hanya memburu Jaka, yang kemudian memutar pandangan keduanya pada arah yang ia tuju kemudian. Dari undakan batu, dari balik taring-taring batu yang mencuat dari dalam tanah, muncul seorang tua membawa empat buah pancingan di tangannya.

"Apa engkau sudah melihat saya tiba atau memang kepekaanmu dapat meraba kehadiranku, Ngger? Kehehe!"

"Saya sudah terbiasa dengan kehadiran bangsa naga, rasanya seperti...ya, tahu saja, begitu! Hehehe! Sayang sekali permukaan basah, tentu mengaburkan jejak pasir Tuan Resi, bukan?" kata Jaka cengengesan.

"Kehehe! Benar-benar bocah istimewa."

Resi Antasura kemudian membagikan kail pancing berturut-turut pada Adya, Ginanjar, Jaka lalu Pak Oman. Setiap dari mereka kemudian mengambil tempat berjajar di tepian dan mulai memancing. Ada sebuah rasa, sebuah pengalaman yang baru, karena bagi Jaka, Ginanjar dan Pak Oman, baru kali ini mereka memancing di dalam tanah. Setiap detiknya berjalan begitu menarik, seakan-akan rasanya baru pertama kali memancing. Tidak terasa ada jenuh karena menunggu.

"Apa boleh saya bertanya, kenapa tidak nampak ada hewan melata? Tidak seperti ketika pertama kali kami tiba di sini." tanya Ginanjar pada Adya yang berada di sebelah kirinya.

"Seandainya kau dapat bertanya langsung, lebih baik bertanya pada mereka." hela Adya. "Mungkin karena mereka merasa jika kalian semua sudah bukan lagi ancaman."

"Saya yang meminta mereka untuk menjauh untuk sementara. Saya tidak ingin membuat tamu-tamu ini jadi cemas." jawab Resi Antasura yang berada di tengah-tengah. "Tidak hanya hewan dan juga manusia, semua mahluk memiliki rasa ingin tahu. Jika tidak saya peringati, mungkin banyak dari mereka yang sudah mengintip kalian sedari tadi."

Purana GeniWhere stories live. Discover now