29

28 0 0
                                    

Lubang jendela luar ruangan perpustakaan Istana Keraton Argakencana, mungkin di sana Niken Mustikawati menemukan tempat kegemarannya yang baru. Selagi menunggu anak-anak muridnya kembali dari lautan kata, ia akan tinggal dan menjadi lukisan dalam pigura batu itu. Sembari menatap pemandangan laut hingga matahari terbenam lagi, meski hanya itu namun mengisi hati. Nampak dari raut wajah sang apsari yang selalu cerah setiap petangnya.

Garis pantai menjadi tarikan garis Sang Pelukis Agung, tak terbantahkan bentangnya. Garis itu menjadi pemisah yang kering dan yang basah, yang sepi dan yang ramai, yang terang dan yang gelap juga yang tinggi dan yang rendah. Hingga nanti sapuan warna jingga menyelimuti bumi, pemandangan akan tetap seperti itu. Ramai peradaban di bawah kayon biru tidak berbatas.

"Seandainya ada tempat setinggi ini di tepi Padas, tentu akan indah juga."

Kata-kata dalam gumam pelan Niken Mustikawati tuturkan untuk dirinya sendiri. Sambil bersandar pada tepi jendela, ia sanggah dagu dengan satu tangan. Angin laut yang berhembus menyibak rambutnya yang hitam berkibar-kibar bagai bendera panji di puncak menara. Meski membuat sisirannya menjadi berantakan namun tidak mengurangi pesona indah sang apsari. Mungkin karena itu juga angin Argakencana sengaja menggoda melalui belai lembutnya. Mungkin juga bumi Argakencana sudah jatuh hati semenjak ketibaannya di tepi laut dahulu. Apapun itu, tidak pernah sang apsari bersama awan mendung selama kunjungannya ke Bumi Indralaya.

"Oh, wahai pujangga dalam syair. Ijinkan daku memberikan cinta ini kepada ia yang sedang melihat pemandangan. Agar sempurna. Karena cinta terdiri dari dua jiwa yang menghuni satu rumah."

"Satu hati! Ngaco!"

"Oh, iya, satu hati maksudnya. Hihihi!"

Niken Mustikawati terbangun dari lamunannya kala mendengar ada suara cekikikan dari ambang tangga di ujung lorong. Dan ketika ia menoleh didapatinya Cepot dan Dawala yang baru tiba. Cepot, belaga gagah dengan kerah lurik yang ditegakkan. Langkah kakinya juga sok tegas, dada ia busungkan maju meski malah jadi memperlihatkan pakaian dalamnya. Dawala tidak kalah lagaknya. Lurik ia masukkan rapih dalam kain samping. Rambut ia sisir lurus dalam blangkon yang lurus. Jalannya satu-satu, langkahnya irit. Tatapan mata penuh sesal memandang keluar jendela seakan-akan di luar sana sedang ada badai yang melumat para penduduk ibukota.

"Oh, duhai engkau yang anggun," ujar Cepot seperti sedang membaca sajak. "adakah jendela sebelah kosong agar kawan dapat menemani?"

"Meski esok kiamat, meski ada pejantan yang menghalangi," lirih Dawala sedih. Sepertinya memang benar-benar ada badai yang sedang memporak-porandakan ibukota di luar sana. "langkah ini tidak akan terhenti."

"Tidak peduli raksasa,"

"Tidak peduli siluman,"

"Bahkan arwah Gusti Prabu Suryasmara sekalipun!" seru Cepot lantang. Kepalannya terangkat, meninju-ninju udara.

"Sembarangan!" sambar Dawala cepat kemudian. Lagak dan sandiwaranya lenyap seketika, hilang tidak berbekas. Satu tangan membekap mulut Cepot sembari mendekatkan wajahnya yang beraut galak. "Ngaco! Kalau kedengaran orang bagaimana?"

"Hehehe! Bercanda, Dawala! Bercanda! Hehehe!" kekeh Cepot sambil membuka bekap pada mulutnya.

"Hihihi! Selamat sore, Mang Cepot. Selamat sore, Mang Dawala. Apa kiranya ada yang dapat saya bantu?" sapa Niken Mustikawati ramah. Jemari meraih rambutnya yang tertiup angin kemudian ia sisir ke belakang telinga.

Salah tingkah Cepot dan Dawala sekarang malah cengar-cengir sendiri. Sudah tidak ada lagi tingkah konyol keduanya. Sekarang pakaian mereka kembali lagi seperti semula. Rapih, meski warnanya tetap kusam.

Purana GeniWhere stories live. Discover now