138

3 0 0
                                    

Dari bongkahan bebatuan yang berserakan ada kering yang menghisap hayat. Jangan lengah, bayang Yamadipati masih mengintai. Ia masih berada dan belum beranjak. Ia tidak akan ragu-ragu membawa jiwa dan hati yang lemah berpindah menuju alam kekosongan. Agar selamat, tetaplah melangkah dan jangan berhenti. Ada harapan bagi siapa saja yang senantiasa bergerak meski setapak demi setapak. Meski tajam jasad bumi yang sekarat melukai, menjadikan jejak merah berbekas darah, ketahuilah jika yang demikian adalah pengharapan yang tinggal dari mereka yang gugur. Nafas yang mereka hela, suara yang mereka lantangkan dan hangat yang mereka bagi adalah senyata-nyatanya do'a dari para penghuni makam.

Sayap merah Garuda, sisik biru Baruna dan taring hijau Antaboga kini tinggal cerita. Sisa-sisa mereka kini jadi puing yang berjajar mewujud pagar makam para pahlawan. Sedikitnya ada empat puluh pancang yang berdiri berjajar dalam barisan yang rapih. Yang paling depan, berpancangkan pedang dan tombak adalah pusara sang adipati. Seorang ksatria agung dari masa terdahulu pernah berkata jika ranjang ksatria yang paling nyaman adalah pelukan bumi berselimutkan zirah. Beruntung Adipati Darusambada berhasil mendapatkannya.

Tumpukan batu yang dulunya bangunan kini jadi dinding yang melindungi tenda-tenda yang berada di dalamnya dari tiupan angin kering. Rintih kesakitan dan batuk memburu masih terdengar dari tenda-tenda terpencar pada setiap titik Cengkarbumi. Ada yang menderita luka namun masih lebih banyak yang menderita ragam penyakit karena terpapar racun. Tanpa lelah dan jemunya Dewi Utari dan Dewi Asmarawati merawat mereka siang dan malam. Sampai hari ini tiada raut jenuh terpampang di wajah jika bukan senyum yang ramah. Meski telah luntur semenjak lama riasan di wajah namun tidak mengurangi anggun dan berwibawanya putri-putri Astina dan Argakencana itu.

"Apa kita masih memiliki persediaan air?" tanya Dewi Utari sembari memeras kain basah kemudian menempelkannya di atas kening seorang tua renta yang terbaring tak sadarkan diri.

"Jika untuk minum masih tersisa. Namun jika untuk para penduduk yang sakit..." gumam Dewi Asmarawati dengan nada gelisah.

"Sudah lewat dua hari setengah dari prajurit bertolak menuju ibukota demi membawa air dan obat tetapi mengapa sampai hari ini mereka belum kembali?"

"Semoga tidak terjadi hal yang buruk di tengah jalan. Saya tidak tahu apa saya kuat menerima jika ada kabar buruk yang lain lagi."

Suara langkah kaki mendekat. Tiba menyusul suara pintu tenda yang tersibak. Seorang gadis berkepang dua tiba membawa seikat bunga dalam dekapannya. Dari wajahnya yang dekil dan cemong debu dan kotoran tertinggal raut terheran-heran kala mendapati dua putri yang terjebak resah.

"A-apa ada yang terjadi, Gusti Dewi Utari? Gusti Dewi Asmarawati?"

"Tidak. Tidak ada apa-apa." sahut Dewi Asmarawati berdusta sembari memaksakan senyumnya kembali lagi. "Apa yang kamu bawa, Dhami? Dapat bunga dari mana?"

"I-ini adalah bunga-bunga sisa bekas dagangan hamba. Hamba coba tanam kemudian beri air. Rupanya mereka masih dapat hidup. Semoga saja dapat menghibur semua orang." ujar gadis penjual bunga itu malu-malu.

"Sungguh cantik sekali." ujar Dewi Asmarawati sembari menerima ikat bunga dari Dhami. Senyumnya sekarang benar-benar senyum tulus dari dalam hati. "Tentu saja bunga ini dapat menghibur semua orang yang sedang sakit. Terima kasih, Dhami." yang dituju tersenyum mendapati persembahannya benar-benar berguna.

Sebuah kendi yang sudah hancur setengah wujudnya mewujud pot sederhana. Air yang jadi selimut bunga-bunga itu bekas perasan kain kompres para penduduk yang sakit. Sedikit wanginya yang menebar sudah jadi cukup untuk kepala merenggangkan diri dari tekanan hidup.

"Bunga-bunga ini adalah pertanda jika kehidupan masih dapat lahir dari Cengkarbumi. Dan seperti bunga-bunga ini juga, Cengkarbumi akan bertahan." ujar Dewi Asmarawati.

Purana GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang