Bab 1 Ini Jayyida

37 11 25
                                    

"Ampun, Pak. Hentikan!"

Jayyida mematung, tubuhnya bergetar, keringat membanjiri sekujur badannya, pandangannya nanar saat melihat pemandangan mengerikan di hadapannya. Jelas terlihat ibunya menjerit dengan tangis yang hampir tak terdengar ,  agar jeritan itu tak dapat terdengar  oleh siapapun.

"Ampun, Pak." Ibu memohon agar pukulan dan cacian yang diterimanya dihentikan, tapi masih saja berlanjut.

Jayyida melihat Bapak yang berucur keringat dengan wajah merah padam, marah besar. Gadis itu tidak tahu apa yang telah terjadi di subuh ini. Ia berlari ke kamar dan bersembunyi di pojok lemari. Namun, ia masih bisa mendengar rintihan tipis Ibunya. Ia hanya bisa terduduk lemas dengan tangis tertahan. Keberadaannya tidak boleh diketahui oleh Bapak dan Ibunya. Napasnya naik turun, dadanya sesak. Tangan gemetarnya masih memegangi benda kotak berisi lembaran ayat-ayat suci, Al-Qur'an. Bibir gemetar itu mulai melafalkan ayat untuk mengusir rasa takutnya.

"Allah, lindungi Ibu. Lindungi Bapak dari setan yang terkutuk," harapnya dengan derai air mata.

Jayyida terus merapalkan ayat-ayat itu sampai ia tak sadar diri di pojok lemari tempatnya bersembunyi, bahkan ia tak tahu kapan kejadian mengerikan berulang itu berhenti. Ia terbangun ketika ibu sudah berada di hadapannya.

"Bangun, Nak, sudah siang." Ibu dengan lembut membangunkan Jayyida sambil menggendong Faiz, adiknya berusia tiga tahun.

Jayyida memandang raut wajah Ibunya yang tergambar jelas rona memar di ujung pipi. Ia menyentuh pipi Sang Ibu perlahan.

"Ibu sakit?" Jayyida bergetar.

Ibu tersenyum dan menggeleng. "Enggak, nak. Ibu nyobain perona pipi yang dikasih Mpok Leha kemarin. Gimana? Ibu cantik tak?"

Jayyida tahu Ibu sedang berbohong. Tapi, ia tidak bisa membuat Ibu ketahuan. "Cantik. Tapi, Ibu lebih cantik tidak pakai perona pipi." Ia menatap wajah ibunya. Semakin lama, semakin terlihat ada genangan air mata di dalamnya. Sebelum air mata itu turun, Jayyida segera beranjak. "Ayi jemur baju dulu ya, Bu. Kak Mila pasti lupa jemur baju sehabis cuci. Kakak sudah berangkat ke sekolah, Bu?"

"Sudah, Nak. Cuciannya juga udah Ibu jemur." Ibu mengikuti Jayyida dari belakang. Ia kasihan melihat puteri keduanya terus di rumah. Di saat teman-teman sebayanya masuk sekolah baru, puterinya masih tak bisa pergi. Bapak tak membahas perihal sekolah setelah Jayyida lulus dari SMP. Jayyida seharusnya sekolah. Sebagai Ibu, ia tak bisa berhenti memikirkan anak keduanya itu.

"Nak, duduk sini sama Ibu," ucap ibu menghentikan Jayyida yang hendak pergi ke dapur.

Jayyida menurut. Ia duduk di samping ibunya yang sudah lebih dulu turun ke lantai beralaskan tikar plastik.

"Maaf ya,  Nak,  Ibu terlambat," Ibu memegang tangan Jayyida setelah menidurkan Faiz. "Besok kamu sekolah, ya. Kemarin ada panggilan dari sekolah. Kamu dapat beasiswa."

Jayyida terdiam. Dahinya mengerut.  Ia mencoba mencerna setiap kalimat Ibu. "Beasiswa?"

Ibu mengangguk. Ia menjelaskan pada puterinya. Setelah Jayyida lulus, ia memasukkan berkas pendaftaran masuk sekolah kategori beasiswa ke Madrasah Aliyah Fatihah berbekal Surat Kelulusan dengan nilai tertinggi. Akhirnya Jayyida lolos seleksi masuk Madrasah Aliyah. Meskipun beasiswa untuk biaya masuk saja.

"Apa kata Bapak, Bu? Apa Bapak setuju?" Jayyida khawatir Bapak menentang. Ia tak berani jika bapak tak membei izin, karena itu akan berimbas pada seluruh keluarganya, terutama Ibu.

"Bapak mengizinkan, Nak," jawab Ibu. Ada senyum syukur di bibirnya. "Alhamdulilah." Ibu menyunggingkan senyumnya untuk mengusir kekhawatiran puterinya,  karena ia tahu apa yang dipikirkan gadisnya.

Tentang JayyidaWhere stories live. Discover now