Bab 5 Cahaya Terang

9 2 6
                                    

"Yu'til Hikmata mai yashaaa'; ......" Kiai Arsyad menghentikan ayat yang dibacanya. Kembali kedua matanya mengawasi anak-anak sekolah di hadapannya. "Ada yang bisa melanjutkan?" Beliau mengangkat tangannya. "Silakan angkat tangan."

Suasana hening. Bermacam reaksi para siswa terlihat, ada yang menghela napas, bahkan menahannya. Ada siswa yang saling tunjuk dan lirik. Enam puluh detik lebih masih tidak ada yang melanjutkan ayat Al-Qur'an itu. Tak lama kemudian sebuah tangan terangkat.

"Alhamdulillah. Akhirnya ada juga yang mengangkat tangan," ucap Pak Kiai. "Silakan."

Dengan perlahan dan tampak ragu, seorang siswa berkerudung bergo putih berdiri. Telapak tangan mulai berkeringat dingin, jantungnya berdegup kencang saat ia melihat pandangan mata orang-oarang di ruangan itu tertuju padanya, mulai dari bangku depan sampai belakang. Tidak hanya para siswa, melainkan juga semua guru yang terduduk di kursi paling depan. Lebih membuatnya panik lagi adalah Pak Kiai Arsyad menunggunya melanjutkan Ayat Al-Qur'an..

"Silakan," ucap Pak Kiai lagi.

Gadis itu menarik napas perlahan. Ia tetapkan hatinya untuk memulai. Suaranya mulai bergetar saat membaca Ta'awudz dan Bismillah

"Yu'til Hikmata mai yashaaa' wa mai yu'tal Hikmata faqad uutiya khairan kasiiraa, wa maa yazzakkaru illaaa ulul albaab." Suara gadis itu melembut saat mengulangi ayat yang dilantunkan Kiai Arsyad.

"Allah." Bunyi takbir diserukan para hadirin setelah ayat itu selesai.

"Alhamdulillah," ucap Kiai Arsyad. "Terima kasih sudah mau melanjutkan ayatnya. Jangan dulu duduk." Pak Kiai Arsyad meminta gadis itu untuk tetap berdiri. "Boleh tolong jawab pertanyaan saya sebelum ananda duduk."

Si Gadis menganggu, masih dengan pelan dan ragu.

"Surat dan ayat berapa ayat Al-Qur'an yang dibaca tadi? Tolong kasih tahu saya?" tanya Kiai Arsyad.

Si gadis terdiam sejenak dan menjawab penuh hati-hati. "Surat Al-baqarah Ayat 269."

"Benar sekali." Kiai Arsyad mengacungkan jempolnya. Bunyi hamdalah berseru di aula. Kemudian, Pak Kiai kembali melantunkan satu ayat dan meminta dilanjutkan. Begitu seterusnya sampai beberapa ayat. Sambung menyambung ayat dengan lintas ayat dan lintas juz. Ia meminta siswa dan guru untuk melanjutkannya dan beberapa yang bisa menjawab benar. Namun, hanya satu siswa yang mengundang decak kagum semua yang hadir. Sambung ayat dari Kiai Arsyad mampu dibacakan dengan benar. Dan ayat terakhir membuat siswa itu menangis dan bergetar hatinya. Baru kali ini itu dirasakannya.

Tidak hanya itu, gadis itu telah melantunkan setengah dari Juz Lima dengan sahih. Lantunannya berhasil membuat para hadirin terhanyut dengan ayat demi ayat yang menggema ke seluruh ruangan aula sekolah. Tidak hanya itu, keharuan yang dirasakan gadis itu menular pula, sehingga banyak yang menitikkan air mata haru saat ayat itu bergulir.

"Boleh saya tahu ananda ini siapa dan kelas berapa?" Kiai Arsyad melihat pada para dewan guru. Guru tersebut menjawab, namun Pak Kiai menanyanyakan langsung pada siswa itu.

"Saya Jayyida. Mumtaz Jayyida. Kelas X A." Jayyida terbata-bata. Ia masih canggung dengan tatapan semua orang padanya.

"Barakallah. Ananda seorang Hafizah? Sudah hapal berapa Juz?" raut wajah Kiai Arsyad secerah mentari ketika mengajukan pertanyaan pada Jayyida. "Boleh beritahu saya dimana ananda ber-talaqqi?"

Jayyida terdiam.

"Talaqqi itu belajar secara langsung berhadapan dengan guru mengaji atau di sebut juga dengan Musafahah," terang Kiai Arsyad.

"Saya mengaji langsung dengan ibu saya. Menghapal sendiri di rumah," jawab Jayyida. "Saya sedang menghafal Juz 10." Ia tertunduk malu. Namun, ia harus memberikan jawaban. Belum pernah ada seorang pun yang mempertanyakan perihal hapalan Al-Qur'annya. Hanya ibunya, Sahabatnya bahkan tidak tahu.

"Wah, Ayi. Rupanya aku tak salah mengacungkan tanganmu. Kamu, kok, enggak bilang aku kalau kamu ngapal Al-Qur'an?" bisik Sari. Jayyida hanya tersenyum canggung pada sahabatnya.

Seorang siswa terduduk di pojok, di balik pintu aula. Ia termenung melihat kejadian di hadapannya. Ia bergantian menatap Jayyida dan Kiai Arsyad. Alunan sambung menyambung ayat menyejukkan hatinya. Hatinya tersentuh. Syafi tak luput dari gema ayat yang masuk ke telinganya, kemudian meresap ke dalam hatinya. Ia belum pernah mendengarkan ayat Al-Qur'an yang dibacakan penuh penghayatan seperti ini. Dadanya seolah didebur oleh ombak huruf-huruf Al-Qur'an yang membuatnya menangis dalam sunyi. Ia tertunduk saat menyadari pipinya telah basah oleh air mata. "Tidak pernah ada ayat dan suara ini di rumahku, di hidupku," batin Syafi. ia meneteskan air mata kemudian keluar dari aula.

***

Sekali lagi, Jayyida duduk sendiri di bangku panjang di bawah pohon Jambu. Ia masih harus menata hati dan pikirannya. Kejadian hari ini membuatnya shock. Sungguh tak pernah disangka akan terjadi pada dirinya. Ia kembali memutar pertemuannya dengan Kiai Arsyad dan Kepala Sekolah setelah acara pembukaan Class meeting selesai.

"Kamu mau tinggal di pondok pesantren? Disana kamu akan tinggal, belajar dan fokus pada hapalan Al-Qur'anmu," kata Kiai Arsyad.

Dengan terang dan jelas Pak Kepala Sekolah menyampaikan pada Jayyida bahwa beasiswa penuh diberikan padanya. Kiai Arsyad dan Yayasan yang menjamin pendidikan dan kehidupan Jayyida di Pesantren dan sekolahnya.

"Saya tidak bisa menyia-nyiakan anak istimewa seperti ananda.," ujar Kiai Arsyad pada Jayyida yang hanya bisa menunduk dan mengangguk sesekali. "Terutama seorang penghafal Al-Qur'an."

Jayyida tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya atas beasiswa penuh itu. Namun, seketika kebahagiaan itu merendah saat mengingat Ibunya, keluarganya, terutama Bapak. Ia belum memberikan kesanggupannya untuk menerima beasiswa itu. Dengan ragu ia menjawab alasan mengapa ia penuh keraguan untuk mengiyakan rezeki beasiswa itu pada Kepala Sekolah dan Kiai Arsyad. Sedikit ia menceritakan bahwa ia harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi keluarga. Ia tak bisa pula meninggalkan Ibunya, meskipun ada Kak Mila.

"Kiai Arsyad senang sekali jika ada seseorang yang sangat mencintai Al-Qur'an seperti kamu. Beliau ingin membantu meraih cita-citamu. Beliau adalah orang yang sangat memuliakan seorang Hafidz, karena mereka adalah penjaga Ayat-Ayat Allah. Tidak semua orang bisa dan mampu melakuaknnya. Oleh karena itu, mohon diterima beasiswa ini." Pak Kepala Sekolah berulang kali meyakinkan Jayyida untuk menerima beasiswa itu karena Jayyida masih saja terdiam.

"Ya, menerima beasiswa ini berarti pendidikanku terjamin. Kemungkinan cita-citaku akan tercapai. Tapi, Ibu.." gumam Jayyida.

Jayyida membiarkan jambu kecil dan daun yang sudah menguning terjatuh ke atas kepalanya karena angin. Ia hanyut dalam lamunan dan berbagai macam pikiran yang berkecamuk di otaknya. Sekolahnya, hapalan Al-Qur'annya, Ibu dan Bapak bergantian dipikirkannya.

"Ayi!" sebuah suara meneriakkan namanya.

Jayyida menoleh. Tampak Sari berlari rusuh ke arahnya,

"Wah! Di sini kamu rupanya," ucap Sari napasnya terengah-engah karena larinya tadi. "Kamu tiba-tiba terkenal, Ay. Satu sekolah ngomongin kamu semua. Anak yang enggak tahu kamu sekarang lagi ngomongin kamu, tauk." Sari bercerita dengan semangat di samping Jayyida.

"Tenang, Ri. Tarik napas dulu." Jayyida menyetop ocehannya Sari sebelum ia dihujani semburan hujan buatan.

Sari menuruti perintah sahabatnya. "Kamu terkenal sekarang." Sari berjingkrak kesenangan.

Tiba-tiba....

Sapi keriting berdiri di depan dua sahabat.

"Ayi, gue enggak jadi berhenti sekolah," ucap Syafi.

Kedua pasang mata di hadapannya melotot terkejut. Mereka saling pandang.

"Sapi, kamu mau berhenti sekolah juga? Kalian janjian?"


Bersambung..


Mereka janjian, kah?  

Tentang JayyidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang