Bab 6 Mencari Cahaya

9 2 4
                                    

Cahaya telah di pelupuk mata.

Kenapa masih mencarinya?

Cahaya lain tertinggal, kah?

Iya.

"Bu, sekolah saja aku tak bisa membiayainya, apalagi ini harus tinggal di asrama." Bapak mengerenyitkan dahinya. Bergantian ia menatap Ibu dan Jayyida yang tak berani mengangkat kepalanya. "Jangan mulai lagi, bu. Bapak capek. Seharian membajak sawah, begitu pulang denger begini lagi. Pusing!" Bapak meninggalkan isteri dan anaknya ke luar rumah.

"Jangan, Bu." Jayyida menahan lengan ibunya yang bermaksud mengikuti Bapak. "Jangan dibahas lagi. Kasihan Bapak. Jangan buat Bapak marah lagi. Aku enggak mau Ibu kenapa-kenapa," ucap Jayyida memohon.

"Ia, Bu," kata Kak Mila. "Biar Bapak tenang dulu. Aku enggak mau ibu kena marah Bapak lagi." Kak Mila menoleh pada adiknya. "Kamu juga, Ayi. "Kedua matanya mendelik. "Udahlah, jangan nyusahin Ibu lagi. Kamu enggak kasihan sama Ibu? Sama Kakak juga? Kakak sekarang kelas. Jangan ganggu fokus belajar Kakak, dong."

"Maaf, Kak." Jayyida tertunduk. Ia bosan menangis, namun air mata ini keluar dengan sendirinya.

"Mila, Jayyida enggak salah. Tidak perlu memarahinya seperti itu, Nak." Ibu menghentikan anak sulung yang tidak seharusnya marah. "Kalian tunggu di sini. Jangan berantem, ya. Ibu mau jelasin ke Bapak.

"Tapi, Bu,.." Jayyida tidak bisa menahan Ibunya. Ia hanya harus menunggu dengan gelisah. Semoga Bapak tidak menyakiti Ibu lagi.

"Ini salah kamu, ya." Kak Mila masih memasanng emosi dan ekspresi wajah tidak menyenangkan pada adiknya. "Buat apa kamu pamer di depan seluruh siswa, guru dan Pak Kiai. Akhirnya begini, kan, jadinya."

"Aku enggak tahu akan begini akhirnya, Kak," sahut Jayyida penuh penyesalan. "Aku cuma mau setidaknya menjadi seorang siswa sebelum benar-benar berhenti sekolah."

Kak Mila hanya menoleh sinis tanpa menyahuti. Ia turut senang melihat adiknya melantunkan hapalan Al-Qur'annya kemarin siang. Namun, ia juga kurang senang mendengar pengumuman dari Kepala Sekolah bahwa adiknya mendapatkan beasiswa penuh untuk sekolah dan belajar di Pondok Pesantren.

***

"Bapak bilang tidak, tidak!" Suara Bapak tegas tanpa sedikit pun menoleh pada Ibu. "Jangan egois. Pikirkan Mila. Dia sedang.."

"Beasiswa penuh." Ibu memotong pembicaraan Bapak dengan cepat. "Tidak ada biaya sepser pun yang harus kita keluarkan untuk Ayi"

Bapak menoleh pada Ibu. Keningnya mengkerut sejenak. "Dimana ada orang seperti itu di dunia ini, Bu? Apa yang telah anak kita lakukan sehingga bisa mendapatkan hal seperti itu?" Bapak tersenyum sinis. Ia tidak percaya ada hal baik seperti itu menimpanya.

"Anak kita hapal Al-Qur'an, Pak," jawab Ibu. "Bapak enggak tahu, kan, selama ini Ayi melakukannya tanpa sepengetahuan kita. Pak Kiai pemilik sekolah dan pesantren itu melihat Ayi membaca Al-Qur'an tanpa melihat. Beliau ingin anak kita terus sekolah dan belajar."

"Tidak mungkin," tepis Bapak. Ia terdiam seolah berpikir. Bagaimana bisa puterinya secerdas itu? Bagaimana mungkin tiba-tiba saja keberuntungan itu hadir.

Bapak masih keukeuh tidak percaya. Namun, Ibu tak putus asa. Ia jelaskan lagi dan lagi sampai suaminya memercayai rezeki puteri keduanya dan berharap ia memahaminya. Ia patut bersyukur dengan nasib baik yang baru saja datang. Rezeki Ayi, katanya. Ia hanya perlu izin dan restu suaminya untuk bisa mengizinkan Ayi mengejar cita-citanya.

"Jika kita memang tidak bisa memenuhi impiannya, setidaknya biarkan dia menerima ini, Pak." Ibu hampir putus asa karena Bapak belum memberikan jawaban.

Bapak bangkit dari bale-bale dan kembali masuk ke rumah meninggalkan ibu sendirian di luar. Ibu hanya bisa menghela napas panjang. Kerudung lepek Ibu adalah bukti usaha keras meyakinkan suaminya. Namun, sepertinya kerudung itu harus lebih lepek lagi agar Bapak mau melihat perjuangannya.

***

Hanya jangkrik suara malam gelap ini. Lampu temaran lima watt di dalam ruang tengah sangat terasa sunyi. Sepi dan kelabu seperti penghuni rumah ini. Tak ada yang berulang untuk membahas apapun. Selesai mengaji dan makan malam, tanpa aba-aba siapa pun, kamar sudah terisi dengan pintu kayu using telah tertutup rapat. Hanya Ibu di ruang tengah sedang menyusui Faiz.

'Ayi,' panggil Bapak.

Jayyida menyahuti panggilan Bapak dan keluar dari kamarnya perlahan.

"Sini duduk samping Bapak," ucap Bapak. Ia menepuk-nepuk sofa yang sudah menyembul busanya di mana-mana.

"Kamu benar-benar masih mau sekolah?" tanya Bapak. Ia menatap lekat puterinya yang tmengangguk perlahan. Jauh dalam hatinya, ia merasa sangat prihatin dengan puteri keduanya yang selalu mengalah dan selalu terkena imbas amarahnya. Sekilas bayangan Jayyida terluka berkelebat di pelupuk matanya. Namun, anak yang pernah dilukainya itu selalu memasang senyum di hadapan Bapak tak berguna seperti dirinya.

Ya, Bapak Jayyida selalu merasa tak berguna, namun ia juga tak bisa mendapati dirinya selalu tak beruntung. Akhirnya, amarah menjadi muara ketidakbergunaan dirinya. Sehingga ia ditakuti oleh tetangganya, bahkan keluarga sendiri. Ia membiarkan pandangan orang lain terhadap dirinya seperti apa yang mereka pikirkan.

"Sudah kamu pikirkan matang-matang? Kak Mila? Ibu? Bapak? Faiz?" Bapak memberikan pertanyaan beruntun untuk mendapatkan keyakina Jayyida bahwa ia yakin ingin sekolah di tengah kondisi keluarga tak mampu seperti ini.

Jayyida tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia terlalu takut untuk menjawab. Air matanya sudah memburamkan pandangannya sebelum Bapak mengeluarkan lebih banyak pertanyaan. Ia takut salah menjawab.

"Bapak sudah dengar semuanya dari Ibu." Pandangan Bapak menerawang pada langit-langit rumah. "Bapak senang sekali mendengarnya. Cuma, Bapak khawatir dengan kondisi kamu nanti setelah pindah ke pesantren." Ia mengusap pucuk kepala Jayyida yang tak tertutupi kerudung. "Yakinkan Bapak kalau kamu akan baik-baik saja di sana. Setelah itu, Bapak akan izinkan kamu."

Jayyida mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah Bapaknya yang sudah muncul keriput di kening dan ujung matanya. "Bagaimana meyakinmu, Pak?" Gumam hatinya. "Aku hanya punya tekad belajar bersungguh-sungguh, Pak. Dan janjiku untuk tidak mesnyulitkan siapa pun. Aku hanya akan menerima beasiswa itu dengan baik dan tidak menerima apapun. Aku akan belajar dengan baik. Aku akan tetap sehat biar Bapak sama Ibu tidak mengkhawatirkanku." Jayyida tak bisa menghentikan sesenggukannya.

Bapak membiarkan Jayyida menangis di dadanya dengan tangis yang tak keluar. "Bapak juga ingin membahagiakan Ayi."

***

Suara keciprak air dengan iringan tawa Faiz dan omelan Jayyida di kamar mandi mengisi pagi hari ini. Air menciprati pakaian Jayyida karena Faiz tak bisa dimandikan kakaknya degan tenang. Keluhan Jayyida tak digubris adik kecilnya. Namun, ia ikut menikmati permainan kecil itu dengan sang adik. Akhirnya, pakaiannya basah dengan sempurna.

"Ayi!" seru seseorang di depan pintu kamar mandi. 'Kamu lagi apa?"

Jayyida spontan menoleh ke belakang. Sari.

"Hai," sapanya. "Kamu ngapain kesini? Sama siapa?"

"Aku diantar Wawan. Kenapa belum siap-siap? Hari ini bagi rapor. Aku tungguin kamu tiap hari di sekolah., tapi enggak muncul juga. Masa sekarang kamu mau enggak hadir juga."

Jayyida kembali mengusap tubuh Faiz dengan sabun mandi.

"Maaf, Sari. Aku enggak bisa ke sekolah," sahutnya.

"Ayi, jangan gitu dong. Kamu masih tetap mau berhenti sekolah." Sari tampak sedih.


Bersambung...


Akankah Bapak Jayyida mengizinkan?

Padahal itu beasiswa pebuh, lho, Pak..

Sayang banget kalau enggk diambil

Tentang JayyidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang