1. Sebuah Insekuritas

276 99 360
                                    

Juli 2021

Ini sudah kesekian kalinya aku dalam sikon bangun tidur tak tentu jam. Kaki dingin yang susah digerakkan. Mencium aroma roti buatan ibu dan seekor makhluk kecil berbulu halus bergelung di leherku.

Aku kemudian meletakkan perlahan kucingku di bantal dan duduk di kursi belajar. Mengerjapkan mata beberapa kali hingga fokus melihat sesuatu di layar laptop. Aku kemudian mengecek trending topic di twitter yang menjadi kebiasaanku semenjak pandemi. Aku termangu, merenungi kenyataan yang membuat seluruh kehidupan berubah sejak dunia dinyatakan 'tak baik-baik saja' oleh WHO—Maret tahun lalu sehingga harus ada jarak antar sesama manusia.

Namun, karena 'jarak' itu ... aku menipu diriku sendiri dan orang-orang terdekatku. Di kala jam dinding tetap berdetik putar. Di kala kalender lama menguning dimundurkan ke belakang berganti kalender bulan baru. Dan di kala semua orang berubah tetap mengikuti perubahan dunia.

Dan aku ... malah bergerak seperti siput yang penakut keluar dari zona aman, disenggol sedikit akan bersembunyi di balik cangkang, begitu sudah aman baru keluar kembali. Aku kira dengan tidur panjang seperti putri tidur, menghapus semua kenyataan bahwa pandemi covid-19 akan menghilang di muka bumi setelah aku bangun tidur. Ternyata sama saja tak ada guna.

"Lagi ngapain?" tanya ibu tiba-tiba melihat layar monitorku. Aku terperanjat.

"Itu skripsi?" tanya ibu lagi.

"Bukan, lagi buntu!" jawabku ketus.

"Temen-temen SMA kamu dulu udah pada wisuda. Kamu mau kuliah hampir 6 tahun kayak anak SD? Adikmu sudah kelas 3 SMA. Nanti dia nyusul, lho." Perkataan ibu berhasil menusuk punggungku.

"Kalau udah vaksinasi diimplementasikan secara merata, aku bebas bolak balik kampung-kampus tanpa harus disekat, Bu." Ibu diam tak berkomentar lagi soal keluhanku dan ke luar dari kamarku.

"Ibu mau ke mana?" tanyaku melihat ibu dengan kotak roti ditangannya.

"Ibu pergi nganterin pesanan," jawab ibu bergegas keluar.

Aku melihat jam dinding. 17:30. "Sore begini?"

"Iya, tadi ada pesanan mendadak dari panti seberang."

"Hati-hati di jalan, Bu," ucapku memunculkan kepalaku ke luar rumah.

"Iya."

Melihat langkah ibu yang bergegas. Tatapanku berubah sayu, di usia senja seharusnya ibu tidak lagi bekerja apalagi di luar ada banyak hal yang bisa saja membahayakan nyawa ibu. Termasuk virus yang mematikan yang menjadi musuh umat manusia.

Akan tetapi, kegigihan ibuku untuk tak tinggal diam karena semua harga kebutuhan pokok meningkat, tak mungkin untuk berdiam diri di rumah tanpa usaha, walapun sebelumnya ibu memang menjalankan usaha sejak ayah tiada. Walaupun setiap bulan mengalir uang pensiunan ayah sampai saat sekarang. Walaupun Bang Argi dan Kak Tara menambah kebutuhan ibu dengan gaji mereka. Secara tak langsung membuat tubuhku berfisik lemah ini semakin tidak berguna sebagai seorang anak.

Kelopak mataku langsung mengernyit hanya karena silau cahaya langit sore yang menusuk lensa hitam kecoklatanku. Beginilah jadi orang anti sosial yang sudahlah lama tak keluar rumah. Terutama kehadiran anak tetangga yang dulu sempat aku remehkan latar belakang sekolahnya, kini dia pulang kerja berpakaian dinas putih hitam. Membuatku cepat-cepat menutup pintu.

Mengingatkan diriku yang sudah 22 tahun diberi kesempatan bernapas oleh sang Pencipta, yang hanya bisa aku lakukan adalah hal yang sudah manusiawi-menyapu, mengepel, mencuci, memasak dan mengurus bayi kucing yang membuatku secara tak langsung seperti ibu rumah tangga.

Sahita Raswa ✓Where stories live. Discover now