9. Nada Sumbang

102 38 194
                                    

November 2018

Gejala gila terjadi lagi setelah menatap kepergian Rama tadi pagi. Bukan semacam mimisan ataupun melayang terbang ke angkasa. Melainkan kedatangan tamu bulanan disertai konser jantung yang sedari tadi tidak berhenti mengajak ribut. Namun, ada sebongkah batu besar penyesalan menghantam keras tingkat kepercayaan diriku ....

"Ngapain pake acara nangis segala!" sesalku frustrasi-membenturkan pelan keningku ke pintu rumah.

19 tahun diriku ... lebih bodoh dari pada anak-anak seusia Isyan-yang masih duduk di bangku SMP. Hanya karena pegangan tangan, jantungku meribut seperti kerumunan konser. Lagi pula aku sudah terbiasa bersalaman dengan lawan jenis sebagai bentuk formalitas-tanpa embel-embel perasaan.

Dan setelah dipikir-pikir ... pegangan tangan seperti tadi bukan lagi seperti shoujou manga yang banyak konten cenat-cenut. Melainkan masalah harga diri. Memperlihatkan sisi lemah kepada orang lain, sementara orang itu adalah orang menjadi penyemangatku kuliahku satu setengah tahun belakangan.

"Menurut kamu bagaimana?" kata-katanya tergiang lagi.

Ada 50% kemungkinan dia mengenaliku karena chat malam itu dan menganggap aku stalker. Dan kemungkinan 50% lagi ... dia sama sekali tidak mengenalku. Dia memegang tanganku hanya sebagai bentuk kepedulian senior kepada junior di kampus. Juga bentuk kepedulian lelaki terhadap perempuan yang sedang bersedih.

Namun, masalah yang lebih serius! Seandainya aku bertemu dengannya lagi di lingkungan kampus dan dia mempertanyakan hal tersebut ....

Haruskah aku menjelaskan semua detail tentang bagaimana pengaruh 'tanggal merah' terhadap perasaan perempuan? Bikin malu, lha. Apalagi teori patologi cinta. Rasanya ingin mengubur diri.

Memalukan sekali Lana Ishara. Lana ishara memalukan sekali. Kubenturkan keningku lagi ke pintu-

Klik

Pintu rumah tiba-tiba terbuka. Tubuhku terhuyung ke dalam rumah.

"...?!"

Jangan-Jangan .... ?!

•°🌻°•

Adrenalinku memuncak, jantungku berdetak keras dari sebelumnya. Berbeda kecepatannya kebanding saat tangan kiriku digenggam Rama untuk membuatku berhenti menangis.

"Lama banget! Orang nunggu dari tadi!" keluh Kak Tara.

"Bikin jantungan aja! Kenapa enggak ngabarin mau singgah ke sini, Kak?!" protesku panik.

"Kakak udah WA dari kemaren. Kamunya yang enggak bales," sahut Kak Tara. Lalu rebahan lagi di lantai sembari menukar siaran TV.

"Akhir-akhir ini Lana banyak tugas kelompok. Enggak sempet check whatsapp. Maaf," jelasku meletakkan ransel ke kamar.

"Owh, kakak bakal ada pelatihan di Hotel Conventional Bhumi Nusa, tiga hari. Kakak ke sini cuma nganterin kiriman sambal dari ibu," jelas Kak Tara sembari memberikan kotak rantang plastik berisi rendang dan kacang teri.

"Makasiii. Oh, ya kakak udah makan? Aku bawa nasi uduk. Makan, yuk?" ajakku.

"Sambalnya?" tanya Kak Tara terbangun dari rebahan.

"Pecel Ayam," jawabku.

"Hah~ padahal lagi pengen makan kepiting saos padang!" Dia kembali rebahan santai.

Sahita Raswa ✓حيث تعيش القصص. اكتشف الآن