11. Skenario Hubungan

110 35 178
                                    

February 2019

Baru saja aku membuka pintu kelas pertama di semester 4. Mentalku diuji dengan kehadiran pemuncak jurusan Administrasi Publik. Rian, Handi, Bara, Ando, Dede, Rizal, dkk. Semuanya pintar dalam berdebat politik. Mentalku menciut saat mereka menatapku berjamaah.

"Hai, Lana!" sapa Dede. Dia satu kelas denganku sewaktu masih tahun 1. Aku hanya menoleh tersenyum tanpa membalas sapaan.

"Lu, panggil Lana aja? Gue enggak di sebelah lu enggak disapa, nih?" protes Ando.

"Ando," sapa Dede terpaksa.

"Lana!" Aku menoleh ke samping lagi. Tepat ke sumber suara. Handi, di sampingnya ada Bara, Rian dan Rizal. Aku menaikkan alis sebelah seolah bertanya 'apa?'.

"Si Bara manggil!" iseng Handi sembari menunjuk ke arah Bara yang di sampingnya. Bara menatapku dalam. Entah apa yang dia pikirkan saat menatapku mungkin karena semester lalu dia berusaha menghiburku agar tidak sedih. Sekarang, aku tak ada urusan apa-apa lagi dengan Bara. Ingin rasa berterima kasih, tapi sudahlah. Lupakan masa lalu.

"Owh." Kubalas senyum tipis dan kembali fokus ke catatan kampusku.

Hari ini aku diposisi Rama di tahun lalu. Mahasiswa senior semester 4 yang mengambil kembali matakuliah semester 1. Aku juga mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Administrasi Publik di semester 4.

Entah kenapa hal itu membuatku takut. Tanganku berpeluh dan gemetar. Seperti awal semester 3 lalu, saat bertemu dengan Rama. Aku keluar kelas, ke toilet selagi dosen belum masuk. Mencuci tangan ke westafel. Sudah tenang kembali. Barangkali aku saja yang takut akan mengalami hal-hal baru. Aku pun kembali ke kelas. Entah kenapa Dipa dan Nindi memperhatikan langkahku sepanjang koridor. Ada yang salah dengan wajah aku?

"Senyum, Lana! Senyum!" pinta Nindi menunjuk senyum. Aku menaikkan alis heran, sembari tersenyum bingung.

"Lana jarang senyum, sih!" timpal Dipa.

"Kamu berdua ngomong kek kita baru kenalan aja," celetukku.

"Lana senyumnya gimana, ya? Senyumnya?" Dipa menerawang.

"Mahal?" timpalku asal.

"Ya, Lana senyumnya mahal makanya jarang senyum," sambung Nindi tertawa.

Senyumku mahal? Kata mereka? Apa aku sekaku itu? Atau karena sejak Rama memutuskan untuk menghindar, aku tak bisa tersenyum ikhlas lagi? Pikirku menoleh ke jendela koridor kelas. Tepatnya ke dalam kelas, Bara menatapku, aku menatapnya balik.

"Sis ... Sis! Bara tuh Bara!" bisik Dipa menepuk bahuku. Aku menoleh Bara lagi. Kutarik seulas senyum tipis. Bara membalas senyumku. Mirip siapa, ya? Dia mirip tokoh cast wattpad. Manu ... Manu ...? Ah, Manurios, tapi Bara versi black sweet-nya. Buku catatan kampus hitam di tangan Bara langsung terjatuh. Kenapa dia? Dia salting? Pikirku tanpa sengaja menatap Bara lama dari jendela dekat koridor.

"Tatap-tatapan nih orang berdua, Dip!" ledek Nindi.

"Kalian kenapa, sih? Kalian nyuruh aku senyum 'kan? Serba salah aku," keluhku.

"Lana suka Bara. Lana suka Bara," sorak Dipa. Pipiku mendadak memanas. Dipa tak pernah mengubah sifat semprul dari tahun 1. Nyesel kadang temenan sama nih orang. Padahal aku hanya memikirkan Bara sedikit mirip tokoh cast wattpad sejuta umat. Tidak memikirkan hal sejauh itu.

"Pipinya langsung merah, Nin!" Dipa menoel-noel pipiku.

"Wah, iya! Lana mudah banget pipi merah. Kek tomat."

"...." Diam kalian.

"Kampret, Dip! Pak Apri ke sini!" nanar Nindi.

"Kampret! Jangan sampai tuh om-om masuk! Kena mental satu semester! Masuk dulu gengs!" ajak Dipa menarikku ke dalam kelas. Teman-teman sekelas yang ada di koridor juga berhambur masuk ke dalam kelas.

Sahita Raswa ✓Where stories live. Discover now