Prologue: no one can do

130 13 16
                                    

APRIL 2007, di Laboratorium

Suara sirine berbunyi dengan keras, memekakan telinga bagi para peneliti disana. Panik menyerang—seiring dengan suara jeritan yang terus-menerus terdengar. Beberapa pekerja dengan jubah putih panjang berlarian masuk—keluar dari ruangan. Suara-suara dari mesin juga memenuhi ruangan. Jantung berdetak kencang, memompa darah lebih dari biasanya.

"Dok, bagaimana ini?"

"Apanya?!" si dokter yang tak kalah panik itu membalas kesal. "Tambah dosis penenangnya!"

Seorang perempuan yang baru saja mendapatkan sertifikasi kedokterannya itu terperangah, bulir-bulir keringat berjatuhan di kening, dengan napas yang tercekat kemudian. "Tapi itu akan membahayakan—"

"Kamu membantah saya?"

Dengan tangan gemetar, dokter muda itu menyuntikkan penenang pada selang infus si pasien. Naasnya beberapa detik kemudian, suara denting panjang nyaring terdengar. Membuat semua orang yang berada di ruang operasi tersebut menghela napas—sebab mereka gagal lagi.

**

Penghujung tahun, 2015.

"Sadar!"

Gadis itu menggeleng. "I've lost many times."

"Tapi itu nggak menjadikan lo alasan buat menyerah!"

"Misalnya, gue nggak menyerah—dan tetap lanjut dengan rencana kita—" air matanya terus mengalir deras, seiring dengan napasnya yang kian sesak. Menatap orang terdekatnya tergeletak dengan genangan darah disana. "Apalagi yang hilang dari gue?" dia bertanya amat pelan namun mampu membuat sang lawan bicara terdiam seribu Bahasa. "I've lost them all."

"Please."

"Menurut lo, kalo gue mati, bakal ada yang menangisi gue nggak?"

**

Masa Sekarang.

Napasnya menderu hebat. Menatap presensi beberapa orang di depannya dengan tatapan kosong seiring dengan suaranya yang terdengar sarat akan kemarahan. "Apa kalian tahu apa yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya?"

"..."

"Akal."

**

"What the fuck are you doing?"

Dengan tangan yang bersimbah darah juga orang yang sudah tergeletak di tanah, dia menatap sang lawan bicara yang terlihat terkejut dengan apa yang dilihatnya saat ini. "Membunuhnya. Apalagi, memang?"

"Gila lo, ya?"

Dia hanya tersenyum. "Udah gue bilang berapa kali 'kan? Kalo gue bisa lebih gila dari yang lainnya."

**

"You can be different."

Cowok itu menggeleng. Hanya sebagai tindakan dari pernyataan sebelumnya.

"Gue percaya."

"Tapi gue nggak percaya sama diri gue sendiri."

"..."

"Itu masalahnya, 'kan?"

**

Hidup itu penuh dengan teka-teki.

Tidak ada satupun orang yang pernah bisa menebak dengan pasti apa yang akan terjadi pada detik, menit, jam, atau hari berikutnya. Seseorang atau Lembaga berkepentingan bisa saja memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, sepintar-pintarnya manusia, tidak ada yang pernah tahu kehendak alam yang sesungguhnya.

Sebab, layaknya sepi yang melanda sebelum datangnya badai, segalanya terasa normal. Seolah baik-baik saja itu tidak pernah ada. Hingga sesuatu terjadi, datanganya tidak diduga dan akhir yang tidak pernah ditebak siapapun sebelumnya. []

Metanoia | heeseungWhere stories live. Discover now