05: countless

40 7 74
                                    

Sunyi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sunyi.

Hal yang selalu Julip hadapi setiap kali pulang ke rumah. Setiap sudutnya ditatap dengan kedua netra—kemudian ia memejamkan mata untuk sesaat. Menarik napas dalam—sebab setiap kenangan hanya mampu ia ingat. Bagai sebuah kaset yang sudah rusak karena sering kali diputar.

Anak tunggal. Mama yang meninggal dua tahun lalu. Sosok Papa yang tidak pernah Julio temui seumur hidupnya, bahkan hanya untuk sekedar identitas. Hanya untuk sekedar nama atau sebuah foto.

Memang, hidup tidak bisa tebak jalan apa yang ditemui. Entah jalan mulus yang mudah dilalui lalu di ujungnya ada sebuah jurang dalam, atau jalan berbatu dengan sebuah tempat fana yang dimana orang mengira, itu tujuan akhir mereka—kebahagiaan.

Tak banyak orang yang tahu, bahwa keterlibatannya dalam kegiatan organisasi sekolah hanyalah untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Berlari kabur dari sunyi yang terasa terlalu pekat dan sulit sekali keluar. Pernah acap kali, Noah keheranan, bertanya pada Julio. "Lo tuh nggak bosen ke sekolah mulu? Walaupun hari minggu gitu?"

Jawabannya? Tentu saja tidak.

Kepergian Mama jelas meninggalkan bekas luka yang besar untuk Julio. Semua hal yang ia lakukan pertama kali dalam hidupnya seperti berjalan, bicara, makan juga hal klise yang manusia alami semuanya dia lewati bersama Mama. Setiap sudut ruangan di rumah penuh dengan kenangan Mama, jadi dia yang berada dirumah hanya membuatnya terus mengingatnya.

Julio dan Mama hidup dengan sembunyi. Sampai beliau sudah berada di tempat terbaik di sisi Tuhan, dia masih tidak tahu alasan mengapa Mama terus bersembunyi. Menarik diri dari orang-orang. Tak satupun tahu siapa sepupu, tante, atau sanak saudara yang ia kenal.

Ia bagai terjebak dalam sebuah labirin yang entah bisa keluar kapan.

"Julio."

Kala itu, Mama baru saja pulang dari kerja. Dari ujung kepala hingga ujung kaki—semua basah. Sebab hujan turun begitu derasnya. Matahari baru saja tenggelam, dengan badan gemetar sepenuhnya menggigil, Mama berujar, "Dengar Mama baik-baik. Semuanya berantakan, Julio," satu sekon kemudian, Mama terisak. Air mata luruh begitu saja. "Ada satu hal yang berjalan mulus, namun hal itu membuat sekitarnya berantakan. Kacau. Jadi, kamu jangan pernah melanggar apa yang Mama ucapkan. Selalu dengar Mama dengan baik."

"Aku selalu dengar Mama dengan baik, kok," sahutnya bercanda. Sebab Julio pikir, Mama memang tidak membicarakan hal yang terlalu serius.

Julio sedang mengalami harinya dengan baik. Ujian lancar, kegiatannya lancar. Namun, tatkala Mama berujar cukup panjang disana, senyum Juan luruh begitu saja. Mama sering kali bercanda, dengan wajah serius pula. Namun tanpa Juan sadari—menyesal hingga saat ini, Julio salah. Perkiraannya salah.

"Jangan pernah kamu mencari siapa Papa kamu."

Lenyap. Senyap.

Bahkan entah untuk waktu yang berapa lama, Julio tidak pernah merasakan eksistensinya. Dia memang penasaran, namun Julio tetap memberi batas pada dirinya untuk sejauh apa bisa bertanya pada Mama.

Metanoia | heeseungWhere stories live. Discover now