06: nothing's really fine

36 7 54
                                    

"Kenapa mereka lama bener, ya?"

Thomas bergumam dengan soes cokelat memenuhi mulut. Sementara jemarinya sibuk bergerak pada konsol game yang tengah lelaki itu mainkan di ruang tamu. Sejujurnya, begitu menerima telepon dari Baron tadi, dia bisa saja yang datang ke sana langsung.

Namun jika ada Alana, buat apa Thomas yang repot?

Lagipula, diantara mereka, hanya Alana yang benar-benar tak tahu hubungan macam apa yang tengah Kamal jalani. Sebab sejak Alana bersekolah, target utama yang harusnya gadis itu lakukan—yang juga bagian dari rencana, malah terlihat menikmatinya.

Terlihat beberapa bulan belakangan, gadis itu pulang dengan wajah berseri-seri. Baron hampir saja meledek bahwa Alana baru saja di bully oleh teman-teman sekolahnya, seperti serial drama yang pernah ditonton. Nyatanya, tidak juga.

"Gue baru banget nonton bioskop!" serunya dengan nada begitu riang gembira. "Pertama kali banget gue coba nonton bioskop, nyanyi karaoke, makan bareng-bareng! Sama temen sekelas. Seru dah walau gue banyak diem," lalu ia menunjukkan selembar foto dengan gaya berbeda dengan teman-temannya yang terbilang, well—banyak juga.

"Kenapa?" tanya Thomas bingung.

"Ya, kalo gue keliatan excited, nanti mereka malah bertanya-tanya selama tujuh belas—hampir delapan belas tahun gue hidup kemana aja nggak pernah ngerasain yang kayak begitu," jawab Alana. "Terus daripada gue ngeles 'kan malah keliatan boongnya, mending gue diem."

"Bener," sahut Noah.

Baron mengerjap. "No, lo juga pernah?!!"

Noah mengangguk kaku, menghela napas. "Julio sama Naomi ngajak, pas abis beli kebutuhan proker, gue mah iya iya aja, Bang."

"Kenapa, Tom? Ngiri lo?" ledek Kamal sambil ketawa kenceng, soalnya dia sudah sering semenjak pacaran.

"Nggak juga. Setidaknya, muka gue nggak keliatan di CCTV Mall manapun."

Seruangan hening, menatap Thomas tidak percaya.

"YAILAH!"

"Thomas ngerusak suasana banget njir, nggak asik."

"Sial, gue baru kepikiran CCTV."

Thomas mengendikkan bahu tidak peduli. "Nggak usah takut begitu, kita bukan buron Interpol ini."

Alana melempar bantal tepat ke wajah Thomas. "Sama aja, anjing! Nggak ada bedanya."

Yah, memang sih, walau Thomas kala itu bilang dia tidak iri, nyatanya itu terasa—sedikit. Tidak seperti Baron yang mudah sekali bergaul dengan orang hingga tetangga tidak ada yang tak kenal dengannya, Kamal yang diam-diam punya pacar walau kenal lewat sosial media, serta Alana dan Noah yang memang memiliki teman karena mereka bersekolah—Thomas tidak punya siapa-siapa selain mereka berempat. Minus Josh, karena dari awal Thomas punya firasat buruk sama dia.

Sebenarnya Thomas masih belum terbiasa hidup di luar tembok besar ini. Semuanya sangat acak dan tidak tertebak. Banyak hal yang harus mereka lalui tanpa mereka tahu arah yang benar seperti apa. Mereka kabur hanya dengan satu pesan, "Jangan sampai tertangkap kamera manapun."

Tentu saja, bagi anak-anak yang tidak memiliki orang dewasa untuk membimbing mereka, segalanya terasa sulit. Apalagi saat awal-awal. Tidak ada sehari-pun tanpa pertengkaran.

Namun, ini juga terlalu cepat. Thomas juga tidak menduga, mereka bisa berinteraksi dan hidup bersosial dengan mudah. Sebab ternyata, tidak setakut yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Memang, banyak hal menakutkan bisa saja terjadi, tetapi tidak menutup kemungkinan hal baik terkubur di dalamnya. Setidaknya, itu yang Thomas yakini.

Metanoia | heeseungWhere stories live. Discover now