04: thoughts

29 7 18
                                    

“Makanya, lo harus ngerasain jatuh cinta, biar tau apa yang gue rasain.”

Gadis itu mendengus tatkala mendengar ucapan lawan bicaranya barusan. Bukannya mau membandingkan—padahal Josh sendiri tahu kisah hidupnya bagaimana. Tidak perlu menjelaskan panjang lebar kenapa, apa, atau bagaimana. Yah, tidak heran. Meski mereka memang banyak mengalami kejadian Bersama, meledek satu sama lain masih menjadi hal yang paling menyenangkan.

“Jangan sok tau,” balas Alana, tak mau merasa kalah. Karena Josh ini anaknya sombong banget—contohnya, dari bagaimana dia begitu percaya diri dengan parasnya hingga Alana sampai bosan mendengar seperti ‘iyalah gue ganteng’ ‘wajar banyak yang suka, karena gue tuh ganteng’, dan berbagai macam hal terlalu-percaya-diri tersebut.

Walau, yah, Alana akui, sejak tumbuh dari masa remaja hingga dewasa, parasnya memang berbeda. Tapi kalau gadis itu berkata sejujurnya, sesungguhnya manusia di hadapannya ini niscaya akan lebih sombong dan Alana sudah muak mendengarnya kesombongannya. “Udah.”

Kelopak mata lelaki itu mengerjap lebih cepat dari biasanya. Menatap si gadis tak yakin—namun juga sepenuhnya penasaran luar biasa. “BENERAN?!”

“Selalu aja bereaksi berlebihan, herannya kenapa Runa bisa cinta begitu sama elo,” gerutunya—merotasikan netra. “Beneran, anjir.”

“Siapa?!” seru Josh, mengabaikan ada nyeri ketika mendengar nama itu lagi. “Kenapa gue nggak tau? Kenapa lo nggak pernah cerita?” cowok itu malah menyerbunya dengan berbagai macam pertanyaan tanpa memberikan ruang untuknya bercerita. “Heh, jamet, gue cerita semuanya ke elo dan bisa-bisanya lo menyimpan rahasia sama gue?” ekspresi wajah Josh berubah seolah dia baru saja menjadi manusia paling tersakiti di dunia. “Alana, lo cewek jahat!”

Alana takjub. Sebab Josh baru saja berbicara dengan kecepatan tinggi hanya dengan satu kali tarikan napas. Kalau saja dunia mereka berjalan sebagai manusia menjalani hidupnya, mungkin—mungkin saja Josh bakal terjun di dunia kerja industri hiburan sebagai rapper. Hm, jangan sih.

Karena dari pada rapper, Alana lebih sering mendengar Josh mengomel selayaknya ibu tiri di series drama yang baru saja dia tonton. “Nyerocos mulu, jigong lu bau,” gadis itu merotasikan netra.

“Ada, cowok!”

“Namanya?”

“Zayn Malik.”

Kalau disandingkan, Josh yang menjulang ini seperti korek api sementara Alana adalah pemantiknya. Jadi, ketika apinya keluar, korek tersebut terbakar. Itulah emosi Josh sekarang, alias terbakar. “Alana emang cewek brengsek,” cowok itu berniat menghujaninya dengan seribu pukulan, namun seolah mengetahui niat pergerakannya, Alana menghindar. “Babi, gue serius! Sini lo!”

“Gue nggak tau kalau babi bisa serius—eh iya deh bener bisa,” Alana membalas jenaka. “Ada elo sebagai babi disini.”

“HEH!” protes Josh, matanya melotot, walau tetap keliatan kecil. “Nggak jelas lo!”

Tawa gadis itu lantas pecah melihat Josh yang menggerutuinya habis-habisan. Tangannya menunjuk sang lawan bicara. “Loh, gue belajar dari ahlinya.”

“Sialan,” Josh kembali duduk di kursinya, kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda, merokok. “Jadi—gimana sekolah?”

“It’s not really that bad,” balas Alana. “Dari apa yang gue baca, katanya capek. Tugas numpuk. Guru yang ngeselin. Apalagi kalo lingkungannya toxic,” gadis itu mulai bercerita. “So far, meskipun gue sempet kena masalah sedikit, tapi seru—jauh dari apa yang gue bayangkan.”

Tanpa Alana sadari, senyumnya mengembang dan disana Josh menyadari hal itu. Sudah sekian lama sejak dia tersenyum seperti itu sejak kejadian dua tahun lalu. “Temen lo banyak?”

Metanoia | heeseungWhere stories live. Discover now