10: actually

16 7 6
                                    

Sejak matahari terbit, Noah terbangun dari tidurnya dan tak lagi bisa terlelap. Dia mengutak-atik smart-watch miliknya yang sebelumnya terhubung dengan frekuensi radio yang menjadi alat komunikasi bagi mereka semua. Selagi menghubungkannya dengan laptop yang ia pinjam dari Julio, hasilnya nihil. Dia masih belum menemukan bagaimana kondisi Thomas dan Kamal.

Ini jelas pertanda bahaya.

Mungkin, pikir Noah akan lebih baik jika mereka semua tertangkap. Bagaimana jika terjadi sesuatu hal yang lebih buruk? Kehilangan nyawa misalnya. Membayangkannya saja, ia sudah tak berani.

Tidak, Noah tidak ingin kehilangan apapun lagi. Cowok yang masih remaja tersebut belum siap untuk hal tersebut. Noah sudah tidak tahu lagi bagaimana hidupnya akan berlangsung setelah kekacauan ini terjadi. Selama dua tahun mereka semua baik-baik saja. Kenapa jadi seperti ini? Rasanya, semua hal yang sudah mereka persiapkan kacau begitu saja. Sia-sia. Kenapa—

"Noah."

Noah mengerjap, menoleh pada Julio yang masih mengenakan baju tidurnya menatapnya dengan datar. Ah, iya, Noah baru sadar. Julio juga hanya teman satu-satunya di sekolah yang berinteraksi cukup dekat dengannya. Menyadari bahwa Julio memang tengah kacau tak jauh berbeda dengan dirinya sendiri, ia dirundung rasa bersalah.

Sebab Noah tahu, sudah seharusnya tidak seperti ini.

"Mau sarapan apa?" tanya Julio.

Netra Noah melirik jam dinding. Pukul delapan pagi dan ini hari Selasa. "Jul—"

"Kalo lo mau tanya soal sekolah, nggak, gue nggak masuk sekolah hari ini," ucap Julio. "Nggak saat kondisi lagi begini, 'kan?"

Si lelaki langsung berdiri. Berderap langkah menghampiri si lawan bicara. "Jul, gue minta maaf."

"Lo nggak menjawab pertanyaan gue, No," sahut Julio masih dingin. Ia memakai jaket denimnya, masih melirik Noah untuk menunggu jawaban darinya. Pada saat begini saja, Noah mengerti bahwa Julio masih membutuhkan waktu lebih banyak untuk memahami semuanya.

"Jul—"

"Gue beliin nasi uduk aja, biar sama rata," Julio meraih kunci motornya, hendak pergi keluar sebab entah kenapa ia merasa rumahnya terasa sumpek sekali.

"Kak Alana nggak ngizinin gue buat ngasih tau, Jul," ucap Noah tanpa Julio tanya sama sekali. Noah mungkin akan menyesalinya sebab ia menceritakan ini untuk pertama kalinya pada seseorang. Dia hanya ingin mempertahankan apa yang sudah ia punya. "Dari awal gue udah berkali-kali bilang, kalo lo berhak tau tapi—"

"Dia cuma nggak mau gue dalam bahaya, benar?" potong Julio cepat. "Semalem, Kak Alana udah ngejelasin ke gue No, meskipun belum semuanya."

Noah mengangguk. "Iya, sesuatu yang kayak gitu."

"Kalo gitu, biar gue tanya satu hal," Julio menggenggam kunci motornya erat. "Apa yang terjadi dengan kalian bertiga?"

Mendadak jantung Noah terasa terhenti. Padahal, sudah sekian waktu berlalu, Julio yang Noah kenal selalu seperti ini. Menyuarakan apa yang benar-benar membuatnya penasaran. Pertanyaan tersebut memang terdengar biasa saja, namun kepalanya terasa sulit untuk menyatukan kata menjadi kalimat yang harus ia utarakan sebagai jawaban.

"Apa itu sesuatu yang bahaya juga?"

Sebab Noah tidak tahu jawaban seperti apa yang seharusnya ia berikan, batin Noah. "Sebenernya, se.. sebenernya—"

"Noah, gue percaya sama lo."

Disana, Noah terkesiap. Ia menatap wajah Julio yang terlihat lesu dan tanpa binar semangat seperti biasanya. Karena ini, Noah seperti ditekan dari berbagai arah. Ia tidak tahu harus mengambil jawaban yang seperti apa. Jalan buntu. "Sesuatu yang berbahaya, itu sangat mungkin, Jul. Maaf—tapi gue nggak tau harus mulai ini dari mana, tapi kita semua kabur dari tempat yang lebih berbahaya dari yang lo bayangkan."

Metanoia | heeseungWhere stories live. Discover now