08: retreat

24 7 26
                                    

"Pak, rapat sudah siap. Semua yang diundang, sudah hadir."

Satria Aryamandala—founder utama dari perusahaan Octacy itu menganggukan kepala. Presensinya yang dingin serta tinggi mencolok sudah menjadi karakter yang biasa orang-orang mengenalinya. Kaki jenjangnya melangkah menuju ruang rapat. Ketika ia memasuki ruang tersebut, seluruh orang yang sudah hadir lebih dulu berdiri, menunggu untuk atasannya lebih dulu untuk duduk—kemudian di ikuti mereka yang duduk.

Setidaknya ada dua puluh orang yang mengikuti rapat tersebut. Agenda yang dibahas cukup penting. Octacy mempunyai salah satu lembaga sekolah asrama yang namanya sudah cukup dikenal. Kebanyakan dari mereka yang sudah lulus, bekerja untuk melayani masyarakat. Negara juga sudah beberapa kali memberi lembaga pendidikan tersebut penghargaan.

Namun, kurangnya hanya satu: semakin sedikitnya siswa yang mendaftar—atau bisa jadi, kualifikasi yang dibutuhkan tidak memenuhi keinginan mereka yang sebenarnya.

Setiap perwakilan dari masing-masing departemen menjelaskan satu persatu laporan mereka. Begitu pula dengan presentasi yang mereka tampilkan. Disana, Satria mengelus dagu, mengerti. Lalu, ia mengajukan satu permintaan, "Bagaimana dengan perkembangannya?"

"Perkembangan bagaimana, Pak?"

"Cara terbaru untuk para siswa Elang Boarding School," Satria menatap ke seluruh hadirin yang mengikuti rapat. "Saya sudah sampaikan beberapa proyek dari sekretaris saya—Bina, apa belum kamu sampaikan?"

Bina, gadis itu mengangguk yakin. "Sudah sejak dua bulan lalu, Pak."

"Itu dia," sahut Satria. Ia bersandar pada sandaran kursi, mengusap dagu berdesis ragu. "Saya belum mendengar perkembangan apapun. Siswa-siswa yang ada sekarang, perkembangannya lambat. Penghargaan yang lembaga terima dari kepresidenan terakhir adalah sejak tiga tahun lalu, dan itu cukup memalukan. Poin weakness dari Sekolah Elang. Ini merupakan sebuah kemunduran."

Tatapan tajam serta intonasi suara yang dingin—membuat suasana ruang rapat tersebut terasa sesak seolah menyedot oksigen dari sana. Mereka hanya saling pandang sambal berdeham gugup. Sebab meski permintaannya terkesan sangat mudah, sebenarnya, fakta lapangannya tidak semudah itu. Sekolah Elang memang memiliki program unggulan sebab nilai indicator yang telah dicapai cukup memuaskan. Namun ini juga butuh biaya yang tinggi. Banyaknya berita miring mengakibatkan keraguan di masyarakat mengenai perusahaan juga.

Meski orang luar mengenal Satria sebagai sosok yang berkharisma tinggi, berwawasan luas serta memiliki aspek rencana masa depan yang bagus, orang-orang di Perusahaan memandangnya berbeda-beda.

"Bagaimana dengan anak-anak itu?" tanya Satria, memecah hening setelah semenit dilanda hening. "Apa mereka membuat ulah lagi?"

"Perusahaan cabang Octacy di Kalimantan Barat, Semarang, serta Surabaya sudah dijarah mereka dalam waktu dua minggu terakhir," Jefri, perwakilan dari Departemen Keamanan Tinggi Octacy bersuara. Ia berusaha keras menyembunyikan tangannya yang gemetar. "Lagi dan lagi, mereka melakukannya dengan bersih, seolah-olah yang terjadi adalah perampokan biasa. Jadi polisi keamanan setempat juga tidak bertindak lebih lanjut karena kurangnya bukti, identitas yang tidak jelas, serta motif yang tidak terbaca."

Viktor yang duduk dipaling pojok menyimak. Tanganya menggulir layar tab, berisi rekaman perampokan anak-anak tersebut. Menahan senyum, berusaha menahan ekspresi sedatar mungkin. "Motif yang tidak terbaca jelas itu sebenarnya sangat jelas," sahutnya tiba-tiba, menarik seluruh atensi termasuk Satria sendiri. "Mereka mencari sumber daya."

"Sumber daya?"

"Iya, sumber daya," katanya. Ekspresinya terlihat begitu biasa, namun setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar penuh keyakinan akan sumber data yang tengah ia pegang saat ini. "Sumber daya Octacy sangat banyak dan harganya cukup mahal. Perampokan yang mereka lakukan selalu di luar Jakarta, dengan tingkat keamanan lebih kecil dan atensi yang tidak besar."

Metanoia | heeseungWhere stories live. Discover now