4. Kesal

24 17 96
                                    


Jaja terus menyikat lantai kamar mandi dengan penuh kekesalan.

Sungguh malang nasibnya. Ia harus rela berkorban untuk kakak kelasnya.

"Yang semangat, Ja. Kita bakal selalu dukung lo."

"Ayo, Ja. Lebih kenceng lagi nyikatnya, biar cepet bersih."

"Ying simingit, Ji." Jaja menirukan ucapan mereka. "Gimane gue bisa semangat, kalo lo pade kagak bantuin gue!"

Jaja mengelap peluh di keningnya.

"Ini kita bantuin kok," ucap Aini.

"Bantu doa! Ahahaha!"

Aini dan Dimas tertawa terbahak-bahak.

Jaja menatap mereka dengan tatapan membunuh. "Ck! Kenape hasil diskusinye kayak gini sih," keluh Jaja sembari terus menyikat lantai dengan tangannya.

"Mau gimana lagi? Kan elo penyebab hukuman kita ditambah," jawab Dimas enteng.

"Kan udah gue bilang, kalo-"

"Ssst! Gak usah ngasih alesan lagi. Kita udah sepakat sama hal ini." Aini memotong ucapan Jaja agar mereka tidak berdebat lagi.

"Huft, iya-iya."

"Ayo, Ja. Lo pasti bisa." Dimas masih saja meledek adik kelasnya.

"Diem lo, Bambang."

"Nama gue Dimas."

"Bodo amat!"

Aini memutar bola matanya malas. "Debat terooos," cibirnya dalam hati.

"Ja! Ni! Gue duluan ya." Tiba-tiba saja Dimas berpamitan pada Jaja dan Aini.

Mendengar hal itu, Jaja langsung menghentikan aktivitasnya. "Mau kemane lo?"

"Gak usah kepo." Setelah menjawab pertanyaan dari Jaja, Dimas langsung berlari begitu saja, meninggalkan mereka.

"Lah? Lah?" Jaja kebingungan. "Kok lo kabur sih!" teriak Jaja pada Dimas.

"Woi, Kak! Ini kerjaan kita belom beres."

"Beresin sama Aini sono!" sahut Dimas dari jauh.

"Ck! Gimana sih tuh orang," kesal Jaja pada kakak kelasnya itu.

Jaja menatap Aini.

Sedangkan yang ditatap hanya membuang muka.

Aini beralih melihat jam tangannya. "Emm ... anu ... itu, gue mau ke kantin dulu. Nah! Iya gue mau ke kantin. Laper. Dari pagi gue belom sarapan."

Saat Aini hendak pergi, tanggannya dicekal oleh Jaja. "Eits! Mau kemane lo?"

"Mau ke kantin." Aini berusaha melepaskan cekalan di tangannya.

"Pala lo kantin. Mane ade siswa jam segini ke kantin. Lo mau dihukum, hah?"

"Ya kan gue belom sarapan, Ja. Emang lo tega ngeliat kakak kelas lo yang baik hati ini kelaperan?" Aini menatap Jaja dengan tatapan memelasnya.

"Halah! Kagak pake kaya gituan. Pokoknye lo harus temenin gue di sini, sampe semuanya selesai," keukeuh Jaja sambil tetap memegang tangan Aini.

"Dih! Kok gitu?" Aini tak terima dengan ucapan Jaja. "Tadi aja Dimas boleh pergi, masa gue engga?"

"Waktu kak Dimas pergi, gue kagak sempet nahan dia," jelas Jaja.

Aini mengerucutkan bibirnya.

"Gue harus cari cara biar bisa kabur."

Tiba-tiba saja terlintas sebuah ide di dalam kepalanya.

"Eh! Ada bu Riska," sapa Aini.

Mendengar nama bu Riska dipanggil, Jaja pun menengok ke belakang.

Mengetahui bahwa Jaja lengah, Aini langsung memaksa tangan Jaja untuk melepaskan tangannya. Kemudian dia berlari meninggalkan Jaja.

Jaja pun terkejut.

"Sial! Gue ditipu!" maki Jaja pada dirinya.

Tak mau menyia-nyiakan waktu, ia langsung berlari mengejar Aini agar tidak lolos.

"Woi! Kak! Jangan kabur!"

Aini tak menghiraukan teriakan Jaja. Ia terus berlari sekuat tenaga.

"Kakak! Heh! Mau kemane lo?!"

Teriakan Jaja menggema di seluruh koridor, membuat para penghuni kelas merasa kesal.

Aini berbelok ke kanan. Arah di mana kelasnya berada.

Begitupun Jaja yang mengikuti Aini. Namun, saat ingin berbelok, ada seorang guru yang sedang berjalan.

Gawat! Ia harus menginjak rem!

"Gak! Gak bisa! Rem blong! Aaaaaaa!"

Bruk!

"Aduuuh!" rintih mereka berdua.

Jaja terkejut bukan main. Dia menabrak guru sampai guru itu terjatuh!

"Mati deh gue."

Jaja segera bangun dari jatuhnya.

"Bu! Jaja minta maaf, Bu." Jaja membantu guru tersebut berdiri, ia juga tidak lupa memungut buku-buku yang jatuh berserakan karena ulahnya. Lalu menyerahkannya ke guru tersebut.

"Bu! Saya beneran minta maaf, Bu. Tolong jangan kasih Jaja hukuman. Jaja gak sengaja, Bu." Jaja memohon kepada guru itu. Berharap beliau akan memaafkan kesalahannya.

"Kamu ngapain sih lari-lari di koridor?! Emang gak ada tempat lain apa?! Kamu tau kan, di sini tuh bukan tempatnya main. Kalo kamu mau lari-lari, di lapangan aja!" omel guru tersebut pada Jaja.

Jaja menunduk. "Iya, Bu. Saya minta maaf. Saya beneran gak sengaja. Saya tau saya salah. Jaja minta maaf, Bu."

"Udah-udah! Saya ke kelas dulu. Saya udah telat nih."

Setelah berucap itu, beliau pun langung melenggang pergi dengan langkah yang kesal.

Jaja menepuk jidatnya. "Bego! Kenapa lo gak nge-rem dari jauh sih, Ja!"

"Payah! Payah! Payah!"

Jaja terus memaki dirinya sendiri. Ia sudah banyak membuat kesalahan di pagi hari ini.

Jaja menghembuskan napasnya lelah. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Mengejar Aini? Kembali ke kelas? Atau melanjutkan membersihkan toilet?

"Balik ke kelas aja, Ja."

"Jangan, Ja. Lo harus lanjutin hukuman lo. Harus amanah."

"Gak usah dengerin dia, Ja. Daripada capek-capek, mending lo langsung balik ke kelas."

Jaja merasa aneh pada dirinya. Kenapa tiba-tiba ada suara aneh yang berdengung di telinga kanan dan kirinya?

"Ja, kayaknya lo udah gila deh." Jaja berbicara pada dirinya sendiri.

Setelah itu, Jaja berpikir sejenak.

"Oke! Gue udah mutusin kalo gue bakal kemana," ucap Jaja tegas.

"Sebagai anak yang sompral dan tidak peduli akan hukuman, gue bakal lanjutin bersihin toilet!"

Jaja melangkahkan kakinya dengan mantap. Ia yakin, keputusannya sudah benar!

"Gue emang sompral, gue emang kagak peduli sama hukuman, tapi gue peduli sama diri sendiri. Kalo gue gak bersihin WC, bisa-bisa hukuman gue nambah." Lagi-lagi Jaja bicara pada dirinya sendiri.

"Awas aje tuh orang. Kalo gue ketemu sama mereka, bakal gue ulek-ulek jadi sambel!"

Bersambung ....

Keluarga GalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang