No Man No Cry

115 22 8
                                    


"Nona Claudia! Ada surat untukmu." Seorang office boy meletakan sebuah amplop berwarna coklat keemasan, di meja kerja seorang gadis cantik berambut hitam panjang dengan kulit putih yang halus.

"Sstt dari siapa?" Rekan kerja di sebelah gadis itu menggeser kursinya yang beroda mendekati Claudia.

"Entahlah, tidak ada nama pengirim." Claudia membolak-balikan amplop yang cukup tebal itu.

"Kelihatannya seperti sebuah kartu Natal dengan musik dan hiasan yang indah."

"Sok tahu kamu, Sisca, Natal 'kan masih lama." Claudia tertawa geli melihat raut wajah Sisca yang tampak berpikir keras.

"Benar juga, mungkin saja itu ... kartu ucapan. Biasanya kartu ucapan yang romantis cukup tebal." Mata Sisca berpijar merasa jawabannya kali ini pasti benar.

"Siapa yang akan mengirim kartu ucapan padaku dan untuk apa?" Claudia menggelengkan kepalanya.

"Eh ... bisa jadi si James akhirnya menyatakan cintanya padamu lewat sebuah kartu undangan." Gadis berkacamata kotak dengan rambut pirang ikal yang di kuncir kuda terus berusaha menyakinkan jika tebakannya benar.

"James? Ngaco ah." Claudia melirik ke arah belakang kubikelnya di mana seorang pria gendut yang cukup manis sedang terkejut, karena ketahuan mencuri pandang padanya.

"Hahaha Hahaha ...." Kedua gadis itu tertawa lirih bersamaan melihat sikap malu-malu James.

"Itu 'kan ... dia tipe pria yang akan memberikan kartu dan surat cinta daripada mengatakannya langsung." Sisca mendorong kursi agar kembali bergeser ke meja kerjanya, sebelum Manajer pemasaran yang baru saja lewat menegurnya.

Kedua gadis tersebut kembali pura-pura sibuk bekerja seolah tidak terjadi apa-apa. Dari sudut matanya Claudia melihat jika pria setengah baya yang menjadi pimpinan di divisi pemasaran, masih diam dan mengedarkan pandangan ke seluruh bawahannya.

"Sstt ... sudah dibuka?" Sisca menoleh dari dalam kubikel menatap ke arah Claudia.

Gadis itu menggelengkan kepala. Entah kenapa ada rasa ragu dalam hatinya untuk membuka amplop coklat yang indah itu. Perasaan tak nyaman mengalahkan keinginan tahu dalam dirinya untuk melihat apa yang ada di dalam benda segi empat itu.

"Apaan ini? Surat undangan? Siapa yang nikah?" Tiba- tiba seorang wanita yang bertubuh padat dan pendek ada di sisi Claudia.

"Jane, apa yang kau lakukan di sini, awas Pak Oswaldo melihatmu." Claudia melotot ke arah Jane yang sudah mengambil amplop miliknya.

"Tenang saja ... dia sudah pergi." Jane membolak-balikan amplop tersebut sementara Claudia dan Sisca mencari keberadaan Pak Oswaldo dengan mata mereka.

"Aku buka ya." Tanpa menunggu jawaban, Jane sudah membuka pengait amplop tersebut. "Nah ... benar bukan kataku, ini kartu undangan. Siapa yang menikah ya?"

Tiba-tiba saja raut wajah Jane yang ceria berubah menjadi murung. Gadis itu menatap Claudia dengan ragu-ragu. Jane sekali lagi menatap ke arah kartu yang masih di tangannya dan Claudia secara bergantian. Sikap diam Jane membuat Sisca penasaran.

"Apaan sih yang kamu lihat, penasaran tau!" Sisca merebut amplop tersebut dari tangan Jane.

Claudia menatap Jane dan Sisca bergantian. Kini kedua teman wanitanya itu tiba -tiba saling berpandangan dan berwajah muram. Tak ada satupun yang membuka suara apalagi berusaha memberi tahu dirinya apa sebenarnya yang tertera di kartu tersebut.

"Kemarikan kartu itu aku mau melihatnya." Claudia menyodorkan tangannya untuk merebut kartu di tangan Sisca.

"Bukan apa-apa, ini kayaknya salah alamat." Sisca menyembunyikan kartu itu di balik punggungnya.

"Salah alamat bagaimana, itu si OB juga menyebutkan namaku dengan jelas."

"Bukan buatmu beneran, ini buatku. Kita 'kan bersebelahan. Tadi si OB pasti bilang, Nona Claudia tolong berikan pada Nona Sisca." Sisca tetap bersikeras tidak mau memberikan amplop itu kepada Claudia.

"Tauk ah, terserah kamu." Claudia memilih mengalah daripada harus bertengkar dengan rekan kerja sekaligus sahabatnya.

Sementara itu Jane menatap tajam ke arah Sisca, dia seakan memberikan kode kepada wanita berambut pirang itu. Sisca hanya bisa menghela napas dan mengangguk pada Jane. Kedua wanita itu kemudian menatap ke arah Claudia dengan penuh rasa simpati.

"Claudia ... ini." Sisca menyodorkan kartu tersebut ke arah Claudia.

Gadis cantik dengan bola mata hitam yang lebar itu menatap Sisca dan Jane bergantian dengan heran. Masih tersirat sorot mata penuh rasa kasihan tertuju kepadanya, membuat gadis cantik dengan hidung mungil dan bibir tipis yang selalu tersenyum menjadi semakin penasaran.

"Kenapa wajah kalian jelek sekali?" Claudia tertawa mengejek sambil membuka kartu tersebut dan mulai membacanya.

Bibir yang awalnya melengkung ke atas begitu cantiknya seketika menciut, berubah menjadi garis datar. Cuping hidung mungil itu bergerak-gerak dan mulai memerah, sedangkan bola mata hitam yang selalu berpijar ceria itu seketika sinarnya meredup. Kabut mulai menutupi pandangan Claudia.

"Jangan ditahan jika kau ingin menangis. Menangislah di bahuku." Sisca menyodorkan bahu kurusnya kepada Claudia.

"Siapa yang mau menangis," Claudia menggosok matanya yang tidak gatal, "mataku kemasukan debu."

Air mata tak urung merembes keluar dari sudut mata gadis itu yang setengah mati berusaha menahannya. Dia terus menggosok matanya yang sudah belepotan maskara, dengan menyungging senyuman terpaksa. Claudia masih menggenggam kartu undangan itu di tangannya, kembali memaksa diri untuk membaca ulang.

"James! Kita bertiga mau ambil waktu makan siang duluan." Jane menarik tangan Claudia untuk berdiri. "Eits! Kamu tidak usah ikutan, ini khusus untuk tiga dara, ada urusan penting," teriak Jane ketika melihat James berdiri.

James kembali duduk dengan patuh dan menatap bingung ke arah ketiga wanita yang berjalan melaluinya. Dia semakin heran ketika melihat wajah sebab Claudia .

"Ayo, Sis." Jane dan Sisca mengapit Claudia dan membawa gadis itu ke dalam kamar kecil wanita.

"Jangan tahan lagi perasaanmu, menangislah." kembali Sisca memberikan saran yang sama ketika mereka bertiga sudah berada di dalam toilet wanita yang sepi.

"Huaaa ... dia benar-benar memutuskanku." Claudia akhirnya tidak dapat menahan diri lagi, gadis cantik itu menangis dengan keras dalam pelukan sahabatnya.

Jane dan Sisca menepuk halus punggung Claudia, bersimpati atas kesedihan yang dirasakan oleh gadis cantik mungil itu. Sudah tiga tahun mereka bersama-sama bekerja di kantor tersebut.

"Menangislah sepuasmu, setelah itu lupakan pria tak berguna itu selamanya!" tegas Jane memberi semangat.

"Tapi ...." Claudia hendak protes di sela isak tanginya.

"Hey, dengar! Itu sudah keputusan dia meninggalkan dirimu dan lebih memilih pelakor itu. Jangan rendahkan dirimu dengan mengemis cinta lelaki yang buta mata hatinya!" Jane tidak bisa menerima jika Claudia masih berharap pada pria yang jelas-jelas sudah menampakkan dirinya.

"Jane benar, Claudia sayang. Lupakan Peter! Pria yang tidak bisa secara jantan memutuskan hubungan percintaan kalian, tidak pantas untuk diingat. Enam bulan pergi tanpa kabar, tiba-tiba memutuskan hubungan lewat sms dan sekarang malah mengirim kartu undangan, menyebalkan!" Sisca menjadi berang mengingatnya.

Semangat yang diberikan oleh kedua rekan kerjanya itu, memberikan kekuatan di dalam hati Claudia. Gadis itu menegakan tubuhnya dan berseru, "Benar! Kalian benar! Aku tidak seharusnya menangisi pria yang tidak jantan seperti itu. Aku harus kuat!" Claudia mengusap air matanya dengan kasar. "Tapi ... aku sakit hati, huaaa ...." Tiba-tiba tangis Claudia meledak lagi.

Beruntung sekali saat ini jam kerja, sehingga toilet wanita itu masih sepi dari pengguna. Jane dan Sisca membiarkan Claudia bebas menangis sepuasnya, melupakan emosi dalam dirinya.

"Ayo kita ke bar malam nanti. Aku yang traktir kalian. Kita party sampai puas!" seru Claudia setelah puas menangis dengan senyuman penuh semangat.

"Aku tidak akan larut dalam kesedihan, No Man No Cry! Hidup single woman!"

*****

JANGAN LUPA VOTE YAA

Love in PubWhere stories live. Discover now