Tidak Mau Pergi

26 6 1
                                    

"Sudah aku bilang, aku tidak mau pergi," bisik Claudia lirih penuh tekanan sambil membulatkan mata kecilnya.

"Kenapa kau jadi menjengkelkan begini? Pria tampan itu sudah menunggu di ruang tamu." Jean melotot kesal ke arah Claudia yang masih tenggelam di balik selimutnya.

"Aku capek, ngantuk, mau tidur!" tegas  Claudia. 

"Apaan ngantuk, ini baru jam tujuh malam." Jean berusaha melepaskan selimut yang dipegang dengan erat oleh Claudia.

"Keluar kau, Jean, jangan ganggu aku!" Kepala Claudia menyembur dari balik selimut dan matanya melotot kesal.

Jane tidak menyerah begitu saja, dia duduk di samping Claudia dengan kedua tangan yang dilipat di depan dadanya. Dia merasa jengkel dengan sikap Claudia yang keras kepala.

"Kau ini! Diluar itu pria tampan yang baik hati, jangan sia-siakan kesempatan dengan mengurung diri di dalam kamar seperti ini."

"Aku tidak mengurung diri, aku hanya lelah."

"Jangan salahkan aku ya, jika pria itu terpikat pada Sisca. Tampan, keren, mandiri, kaya lagi. Pasti Sisca sudah melancarkan serangannya." Jane mengolok Claudia yang terlalu bodoh. "Pria mana yang bisa seperti dia dengan tidak memanfaatkan wanita mabuk."

Jane menatap Claudia yang masih menyembunyikan dirinya di dalam selimut. Sebagai seorang sahabat tertua dia tidak ingin gadis itu menyia-nyiakan hidup dengan terpaku pada masa lalu. Jane berharap Claudia bisa menemukan kebahagiaan dengan pria baik-baik yang menghargai dan selalu menjaganya.

Kesal tidak mendapatkan jawaban dari Claudia, Jane memutuskan untuk meninggalkan gadis itu. "Terserah padamu, capek ngurusin anak kecil." Jane keluar dari dalam kamar Claudia.

Di balik selimut yang membungkus seluruh tubuhnya, Claudia memejamkan mata dengan rapat. Sesungguhnya yang terlintas dalam benaknya saat ini adalah rasa malu, mengingat kebodohan yang dilakukannya di apartemen Ryan. Dia masih belum siap bertemu dengan pemuda itu dan memenuhi ajakannya untuk keluar malam ini.

Claudia sadar semua yang dikatakan oleh Jane adalah benar. Ryan sosok pria baik yang sangat sukar di temui di kota Metropolitan ini. Dia benar-benar menjaga Claudia semalaman bahkan merawat dirinya. Namun, jika yang diharapkan oleh Jane adalah lebih dari sekedar pertemanan, maka Claudia belum siap memulai lembaran baru.

Gadis cantik itu merengut jengkel mendengar pintu kamarnya terbuka, seseorang yang masuk ke dalam kamarnya, tanpa izin, Jane si tukang pemaksa.

"Sudah aku bilang, kepalaku sakit, aku tidak mau keluar, jangan dipaksa dong!" seru Claudia kesal.

"Kau sakit?"

Bukan suara runcing seorang gadis, melainkan suara berat dan dalam seorang  pria yang terdengar. Claudia tersentak kaget dan dia dengan cepat mengambil posisi duduk.

"Aow!" Gerakan spontan Claudia membuat keningnya membentur sesuatu yang keras.

Gadis itu membuka matanya sambil meringis dan dia menjadi malu sekaligus merasa bersalah, karena melihat Ryan ada di hadapannya sambil menggosok kening.

"Ma--af," ucap Claudia merasa bersalah, "kog kamu ada di sini?" 

Ryan mengulurkan tangannya menyentuh kening Claudia. "Kamu sakit, apa efek mabuk semalam masih terasa?" 

"Eh, enggak … aku ga pa pa." Claudia menepis tangan Ryan dengan lembut.

Keberadaan Ryan membuat gadis itu menjadi kikuk. Dia tidak menyangka jika kedua teman-temannya akan menyuruh pria itu masuk ke dalam kamar. Pria itu menatap ke arahnya dengan sorot mata dalam yang membuatnya merasa malu.

"Kau yakin?" Pertanyaan Ryan yang terdengar begitu perhatian, dijawab dengan anggukan kepala gadis itu.

"Ah, tadi kedua temanmu bilang kalau kau sedang tidak enak badan." Ryan menjelaskan alasan keberadaannya di kamar gadis itu.

"Mereka terlalu melebih-lebihkan." Claudia duduk bersimpuh di atas tempat tidur dan merapikan rambutnya yang berantakan. 

Sungguh sangat memalukan bagi Claudia, dua hari dia bertemu dan mengenal Ryan  tepat saat dirinya dalam keadaan berantakan. Pria itu pun tak tampak risih dengan penampilan, bahkan senyuman dan tawa nya membuat Claudia merasa nyaman.

"Kalau begitu, berarti kita keluar malam ini?" 

Pertanyaan Ryan membuat Claudia serba salah. Tatapan lembut dan penuh harap pria itu menjadikan dirinya bingung bagaimana cara menolak dengan halus. Dia merasa tidak nyaman membuat Ryan kecewa saat pria itu begitu baik. 

"Aku--"

"Tentu saja dia akan pergi bersamamu, Ryan," ujar Jane yang sudah berpakaian rapi, " kami tidak akan membiarkan gadis ini sendirian di dalam apartemen." 

Claudia menatap heran kepada kedua temannya yang sudah ebrbalut pakaian pesta.

"Kalian mau pergi, pergi saja, kenapa harus meresahkan diriku, biasanya juga--"

"Biasanya juga kau selalu menjadi parasit!" Sisca tersenyum mencibir  ke arah Claudia yang melotot kesal.

"Rya, kau tunggu di depan sebentar ya, kami akan merombak putri tidur ini." Jane menarik tangan Ryan sementara Sisca menarik tangan Claudia.

Kali ini Claudia tidak bisa berkutik ketika kedua temannya mulai bekerja sama mendandani dirinya. Setiap rengekan Claudia hanya akan berbalas petuah panjang lebar dari kedua sahabatnya. Kamar kecil dan sempit miliknya seketika menjadi ramai dan sesak. Keinginan untuk merenung diri menjadi lenyap bersama dengan datangnya Ryan.

"Nah, kan sudah cantik. Lancarkan jurus terbaikmu, jangan sampai Ryan terlepas dari genggamanmu," Sisca menyenggol pinggang Claudia, menggoda.

"Terlepas apa. Jangan pikir macem-macem ya, aku hanya berteman dengan dia. No Man No Cry!" seru Claudia.

"Itu hanya untuk mantan, kalau untuk pria baik tidak bisa dong. No Man No Love, yang artinya kesepiaaannn. Memangnya kamu mau jadi perawan tua semur hidup?" Ucapan tegas Jane disetujui Sisca.

Claudia hanya bisa menghela napas, dia tahu dirinya tidak akan bisa membalas perkataan Jane. Dia yang paling muda di antara mereka, meskipun hanya selisih tiga bulan dari Sisca, seringkali diperlakukan seperti anak kecil, walaupun memang benar Claudia adalah gadis yang ceroboh.

"Kami persembahan Claudia Anastasya Hernandez." Jane berseru girang sementara Claudia melangkah keluar dari kamar.

Gadis itu tersipu malu melihat bagaimana mata Ryan menatapnya teduh. Senyum yang menghiasi wajah tampan khas Asia dengan rahang mexico itu entah kenapa tiba-tiba sanggup membuat Claudia berdebar-debar. Sudah terlalu lama dia tidak pernah merasakan tatapan lembut seperti yang Ryan berikan padanya saat ini.

"Dia cantik, bukan, saat dalam tidak mabuk?" bisik Sisca yang melihat bagaimana pandangan Ryan tak beralih dari Claudia.

 Gadis itu dalam balutan gaun berwarna hitam dengan bahu terbuka tampak sangat memukau, apalagi tubuh mungilnya menjadi lebih tinggi dengan sepatu ber hak sembilan sentimeter. Claudia berdiri dengan malu-malu di depan Ryan sehingga membuat pria itu semakin terpesona.

"Ryan?" 

"Eh-- apa?" Ryan tersadar dari pesona yang dipancarkan Claudia ketika Sisca menyenggol bahunya. 

"Kau mengakui bukan temanku cantik?" Sisca menegaskan pertanyaannya.

"Iya, cantik sekali." Ryan mengulurkan tangannya pada Claudia.

Claudia menggigit bibir bawahnya, dia merasa ragu haruskah menerima uluran tangan Ryan, sementara mereka bisa saja berjalan beriringan keluar dari dalam apartemen ini.

Keraguan Claudia terbaca oleh kedua temannya yang sangat usil. Mereka dengan sengaja mendorong tubuh Claudia, sehingga gadis itu terhuyung ke arah Ryan dan tentu saja pria tampan tersebut dengan sigap memeluk Claudia.

"Aduh! Kakiku sakittt," Claudia meringis sakit.

"Ya Tuhan." Jane dan Sisca membungkam mulut mereka melihat hak sepatu Claudia patah.  

Love in PubWhere stories live. Discover now