Gadis Nakal

31 8 3
                                    

"Eh … arkh!" Di atas tempat tidur, Claudia membalikan tubuhnya dengan gelisah. Aroma harumnya kopi menyusup tanpa izin ke penciuman, membuat gadis itu ingin sekali bangun dari tidur, namun kepalanya terasa berat. Claudia merasakan sakit yang teramat sangat di kepala dan tubuhnya pun terasa tak bertulang. 

"Jane … aku mau kopi," ujarnya lirih dengan suara serak yang tak bertenaga.

Claudia kembali membalikan tubuhnya sejajar dengan langit-langit kamar. Dia memukul-mukul perlahan kepalanya yang terasa sakit dengan terus mengadu lirih. Diletakkannya jari telunjuk di kelopak matanya agar terbuka, tetapi usaha itu terasa sia-sia, terasa lengket dan sukar untuk terbuka.

"Sisca … aku haus!" Claudia berusaha berteriak sekeras mungkin.

Tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bibirnya dan insting wanita itu langsung bekerja. Dia menyedot segelas penuh air putih dalam keadaan tubuh berbaring miring dan mata yang masih terpejam. Rasa dingin dari air putih itu mengalir, membasahi mulut dan kerongkongannya begitu menyegarkan. Claudia merasa seperti memiliki kekuatan untuk bergerak.

"Terima kasih," ujarnya masih dalam keadaan mata yang tertutup. 

Beberapa saat kemudian saat Claudia berhasil mengumpulkan kekuatannya, gadis itu bangun dan duduk di tepi ranjang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih terasa berat sambil berjuang menyeret tubuhnya menuju ke kamar mandi. 

Masih dengan mata yang setengah terbuka, Claudia menuju ke toilet. "Siapa yang menaikkan dudukan toilet ini, sih." Gadis itu menggerutu kesal, dia kemudian melakukan aktifitas buang air kecil tanpa menutup pintu kamar mandi.

"Astaga!" Suara bariton terdengar membuat Claudia memicingkan matanya.

"Hey! Dasar mesum!" Claudia spontan melempar tisu toilet ke sosok pria yang baru saja melintas. "Siscaaaa! Janeee! jangan bawa cowok masuk ke dalam kamarku!" 

Gadis itu segera menyelesaikan kegiatannya dan  keluar dari kamar mandi. Masih dengan memegang kepalanya yang pusing, Claudia keluar dari kamar menuju ke ruang makan yang menyatu dengan dapur. 

"Tumben kalian masak sepagi ini. Harumnya." Mata Claudia berbinar melihat semangkuk cream sup ayam yang tersaji di meja. Tanpa berpikir panjang gadis itu melahapnya dengan rakus. 

"Sisca! Jane! Kalian masih tidur?" Claudia yang baru saja menyelesaikan makannya, memiliki kekuatan untuk membuka matanya lebar-lebar dan melihat sekeliling ruangan.

"Kapan mereka mengganti dekorasi apartemen?" Claudia merasa heran dengan keadaan ruangan itu yang berubah menjadi sangat minimalis, Hanya ada dua buah lemari kaca yang memajang sesuatu yang tidak dapat dia lihat dengan jelas dari posisinya berdiri saat ini.

"Apa kau merasa baikan?" Suara bariton itu terdengar kembali dari balik pintu ruangan lainnya.

"Rumayan." Claudia memicingkan matanya menatap pria itu. "Apa teman wanitaku mengajakmu menginap? Di mana mereka sekarang, kenapa belum bangun?" Dia kemudian beranjak menuju ke lemari es di sudut dapur dan membuka pintunya.

"Mana apel yang aku beli kemarin, siapa yang menghabiskan? Ih tega banget sih aku tidak disisain." Claudia menggerutu kesal sambil menutup lemari es tersebut, tetapi sesaat kemudian gadis itu kembali membukanya untuk menyambar satu kaleng susu dingin.

"Ah segarnya, untung susu ini tidak ada yang menghabiskan."  Gadis itu memutar tubuhnya dan melihat pria yang sama masih berdiri dengan melipat tangan di dada,mengamatinya.

"Kenapa kau masih di sini? Kalau lapar minta mereka untuk memasak atau pesan online saja. Aku mau tidur lagi." Gadis itu melangkah dengan acuh melewati pria itu dan menutup pintu kamar.

Di dalam kamar, gadis cantik dengan tubuh mungilnya membaringkan diri kembali ke atas tempat tidur. Rasa letih masih menguasai tubuhnya, tetapi pikirannya mulai bekerja dengan baik. Tiba-tiba saja Claudia membelalakan matanya.

"Loh! Kok kamarku seperti ini?" Gadis itu langsung duduk. "Sejak kapan aku memiliki sprei berwarna abu gelap dan mewah seperti ini?" 

Claudia kemudian mengedarkan pandangannya dengan gusar ke sekeliling ruangan kamar. Dinding kamar  bercat warna putih dengan gorden berwarna perak dan di bagian atas dinding tempat tidur dilapisi kertas berwarna senada dengan gorden, begitu anggun.

Di sisi kanan dan kiri tempat tidur terdapat nakas berwarna putih dan Lampu hias tinggi yang menghiasi setiap sudut ruangan. Sejajar dengan tempat tidur terdapat sebuah televisi besar yang menyatu dengan dinding dan meja panjang dengan banyak laci di bawahnya.

Gadis itu berjingkat menuju ke gorden yang menutupi sebuah jendela dan ketika berhasil membukanya, Claudia terperanjat melihat keindahan yang disuguhkan di depan matanya. Pemandangan kota di pagi hari.

"Wow! Ini indah sekali, pemandangan yang ingin aku miliki di apartemenku." Gadis itu memegang tirai putih dan menatap keluar jendela dengan kagum.

"Tunggu! Ini bukan kamarku, bukan apartemenku." Claudia menepuk keningnya dan kembali mengamati seisi kamar. Gadis itu kemudian menuju sebuah ruangan yang berada di sebelah ujung kanan kamar, saat berada dalam ruangan itu dia terperanjat. 

"Ini semua pakaian pria?  Wow, luar biasa!" Gadis itu mengulurkan tangannya membelai pakaian-pakaian yang tergantung dengan rapi. "Kenapa aku tidak bermimpi masuk ke kamar dan lemari pakaian wanita? Apa ada yang tidak beres dengan otakku?" 

Claudia menepuk-nepuk kepalanya yang sudah mulai berkurang sakitnya. Dia berkali-kali membuka dan menutup matanya berharap kembali pada kenyataan. Namun ternyata, kesadaran masih tak membawanya pergi dari ruangan tersebut. 

"Kau sudah merasa lebih baik, Claudia?" Suara bariton itu kembali membuatnya terperanjat.

"Siapa kau? Kenapa kau bisa tahu namaku?" Claudia mundur beberapa langkah ke belakang. "Apa kau menculik diriku? Jangan repot-repot menculikku, keluargaku miskin tidak akan sanggup memberimu uang tebusan." 

"Ternyata meskipun sudah tidak mabuk, kau lucu juga ya." Tawa pemuda itu membuat Claudia melotot.

"Mabuk? Siapa yang mabuk, kau jangan asal bicara." Sambil berkacak pinggang, Claudia menatap sinis ke arah pria di hadapannya. "Sepertinya … wajahmu tidak asing."

Tatapan menyelidik gadis itu justru membuat pria tersebut semakin tertawa lebar. Pemuda tampan dengan tinggi seratus delapan puluh lima sentimeter itu  berjalan perlahan mendekati gadis cantik yang beringsut  mundur, hingga terbentur dinding.

"A--apa yang kau lakukan?" Claudia merinding ketakutan ketika melihat kedua tangan pria itu memperangkap tubuhnya. 

Gadis itu menatap pria di hadapannya yang merendahkan tubuhnya untuk dapat sejajar dengan dirinya. Claudia menutup mulutnya dengan rapat sehingga kedua bibir tipisnya tenggelam ke dalam. Gadis itu juga menutup matanya, mengernyitkan kening dan memalingkan wajah, ketika wajah tampan itu mendekat.

"Jangan dekat-dekat, pergi … hush! hush!" Meskipun dadanya berdebar kencang, tetapi bibir gadis itu tetap bersuara penuh keberanian.

"Kenapa kau meringkuk?" Bisikan lembut terdengar dekat di telinganya. Aroma segar dari hembusan napas pria itu menggelitik penciuman Claudia dan membuat cuping hidup juga telinganya memerah.

"Kenapa kau mendekat?" tanyanya balik bingung.

"Karena aku hanya ingin menunjukkan ini padamu." Pria tersebut memegang bahu Claudia. Gadis itu terperanjat tanpa berani membuka matanya. Tiba-tiba pria itu memutar tubuh gadis itu seratus delapan puluh derajat.

"Buka matamu!" 

Claudia dengan patuh membuka kelopak matanya penuh keraguan. Gadis itu tersentak melihat apa yang ada di depan matanya saat ini. Dia menjerit ketakutan, 

"Aaaaaa!"

Love in PubWhere stories live. Discover now