Memasak Itu Gampang

27 5 1
                                    

Tangan gadis itu mengambang di udara. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, mendorong kepala Ryan yang seenaknya saja tidur di pangkuannya, membelai rambut hitam lurus itu dengan lembut atau menyentuh kening pria yang mengatakan jika dirinya sakit.

      'tapi kok kelihatannya dia tidak sakit ya, wajahnya ceria dan tubuhnya tidak panas," batin Claudia.

"Ryan, ayo menyingkirlah." Claudia menggoyangkan kedua pahanya bergantian, agar Ryan mengerti dia merasa tidak nyaman dengan situasi ini.

"Aku akan menyingkir jika kau mau menunggu Jane dan Sisca di tempatku." Pria itu bergumam dengan suara yang rendah dan dalam, terdengar sangat sexy di telinga Caudia.

"Katanya sakit, tapi kok bisa bandel begini, sih!" Claudia menggunakan ujung jari telunjuknya untuk menyentuh kening Ryan. "Gak panas."

"Memangnya kalau sakit itu harus panas?" Pertanyaan Ryan membuat Claudia meringis.

Tentu saja gadis itu pada akhirnya tidak tega melihat Ryan mengorbankan diri menemaninya. Apalagi berbaring di lantai yang dingin dan aircon yang terasa semakin dingin di malam hari ini. Selain itu ada alasan lain yang membuatnya terpaksa mengambil keputusan.

"Kamu lapar?" Ryan membuka matanya dan menatap wajah Claudia yang tersenyum malu.

"Aku belum makan malam." Kunci kamar dan dompet yang hilang membuatnya tidak bisa merasakan kehangatan semangkuk sup hangat.

"Mau kelaparan dan kedinginan di sini, atau menikmati makan malam bersamaku?" sekali lagi Ryan membuat Claudia terpana.

Pria yang baru dikenalnya ini begitu pandai sekali menjebak dirinya dalam pilihan yang terkesan tanpa paksaan. Apapun pilihan yang dia ambil akan tetap terjebak bersama Ryan, pria yang pantang menyerah dan terkesan tidak tahu malu.

"Memangnya kau punya makanan apa di apartemen?" Claudia menggigit bibirnya ketika lonceng di perut berbunyi lagi.

Dia melihat Ryan tersenyum, mungkin sedang menahan tawa sekuat tenaga. Kedua mata indah pria itu masih tertutup, menyisakan bulu mata lebat, panjang dan melengkung bagaikan kipas. Bulu mata yang sangat diinginkan oleh setiap wanita hingga bersusah payang mengenakan penjepit dan maskara. 

"Bagaimana kalau kita lihat apa yang aku punya?" Ryan membuka sebelah matanya dan itu terlihat sangat cute di pandangan Claudia.

"Ayo. Sekarang menyingkirlah, kakiku sudah terasa pegal." Gadis itu merengek lebih karena merasa risih. 

"Okay! Okay! Jangan menangis ya." Ryan segera bangkit dari posisi berbaringnya. 

Dia kemudian mengulurkan tangannya ke arah Claudia. Gadis itu hanya menatap tangan Ryan yang hendak membantunya berdiri dan lebih memilih untuk bangun dengan usahanya sendiri. 

"Aduh kakiku." Saat dia sudah berdiri, gadis itu baru menyadari jika kakinya sedang kesemutan dan terasa sangat lemas. Claudia berpegangan pada daun pintu untuk menopang tubuhnya yang oleng.

"Ada apa?" Ryan menatapnya bingung.

"Kesemutan." 

"Kalau begitu biar aku gendong saja." Ryan sudah memposisikan tangannya hendak menggendong Claudia ala pengantin, tetapi gadis itu dengan cepat menepis tangan lelaki itu.

"Gendong, gendong. Dikit-dikit main gendong." Omelan Claudia terdengar lucu di telinga Ryan. Bibir gadis itu mencebik dengan sorot mata kesal ke arah dirinya.

"Kalau gak di gendong, gimana dong, kan semutnya gak mau turun nanti." Ryan dengan sengaja menggunakan telunjuk tangannya menoel betis Claudia.

"Hentikan! Aduh, jangan lagi." Claudia protes melihat Ryan tak hentinya mempermainkan betisnya yang kesemutan.

"Makanya gendong." 

"Gak mau!" 

Pertengkaran mulut sesaat terjadi di antara mereka berdua yang masing-masing berusaha mempertahankan keinginannya. Semakin Claudia menolak, semakin gencar Ryan menggoda. Dia sangat senang melihat mata sebesar bola kelereng itu membulat.

Beberapa saat kemudian. "Tuh, 'kan, sudah selesai sendiri." Claudia berjingkat kegirangan. 

"Kalau begitu, ayo kita cari makanan untukmu." Ryan menangkap tangan Claudia, menggandeng gadis itu menuju ke apartemen miliknya. Dia tidak membiarkan gadis itu protes dan menarik tangannya.

"Well Come to my Palace, Princess." Ryan mempersilahkan Claudia masuk dengan gaya seorang Pangeran. 

"My pleasure." Claudia membungkukkan tubuhnya dengan kaki yang menyilang, layaknya putri jaman kerajaan kuno.

Mereka berdua tertawa bersamaan. Setelah meletakan tasnya di sofa, Claudia segera menuju ke arah dapur, seolah apartemen itu miliknya. Dia sudah membayangkan sup ayam yang disisakan oleh Sisca tadi pagi, tapi sayangnya di dalam lemari es Ryan hanya terdapat bahan mentahnya. 

"Biarkan aku yang memasak. Apa yang kau inginkan?"  Ryan berdiri di sisi Claudia. 

"Kau duduk saja, biar aku yang memasak."Claudia mengeluarkan wortel, jagung manis, kentang, bawang prey, telur, dan dada ayam.

"Kau yakin?" Ryan memastikan keinginan Claudia, karena seingat nya gadis itu tidak bisa memasak.

"Cuma sup dan  memanggang dada ayam, bukan hal yang susah aku rasa." Senyum lebar dan semangat di matanya menunjukan rasa percaya diri. 

"Apa perlu aku bantu?" 

"Tidak perlu! Kau masih sakit, kan? Sebaiknya duduk di ruang tamu, aku kan membuatkan segelas teh hangat untuk menemanimu, bagaimana? Cepat pergi sana aku sudah lapar." Claudia mengebaskan tanganya mengusir Ryan yang masih berdiri di dekatnya. 

   'Cuma buat sup apa susahnya sih, masak air, celupkan semua sayuran dan beri penyedap, jadi dah. Steak ayam? tinggal kasih garam dan lada terus panggang dengan minyak olive, jadi dah." Claudia yakin dia bisa menyelesaikan semuanya dengan mudah. 

Gadis itu kemudian mengambil sebuah gelas dan menyeduh teh dengan air panas, setelah mengaduk rata gula, dia membawa teh hangat untuk Ryan. Dia memastikan Ryan dalam keadaan santai sebelum berkutat dengan bahan makanan di dapur.

"Masak air sudah, di mana ya pisau pengupas sayuran." 

Claudia membuka setiap laci di dapur, karena dia tidak menemukan pisau pengupas, gadis itu memutuskan membuang kulit sayuran dengan pisau. Perempuan yang lebih suka memainkan musik dan bermain sepak bola itu mengirim kulit sayuran setebal dua milimetre. 

"Kenapa kelihatannya mudah ya, saat Sisca mengupas dan memborong sayuran." Claudia menggerutu melihat wortel dan kentangnya yang menjadi kurus. 

"Ah, sama saja, nanti juga dikunyah hancur di perut." Claudia mengabaikan potongan wortelnya yang tidak simetris. 

"Sekarang memanggang ayam. Duh! Pakai wajan yang mana ya?" Resah memilih wajan yang tepat, Claudia memutuskan menggunakan penggorengan yang berukuran sedang. "Minyaknya seberapa banyak ya untuk memanggang, atau tidak perlu minyak? Tapi kayanya pakai minyak sedikit, deh." 

Bagaikan seorang masterchef Claudia menuangkan minyak olive ke dalam penggorengan hingga mengambang setinggi satu sentimeter.

"Nah. Minyak sudah panas, tinggal masukan daging ayam." Claudia melempar sepotong dada ayam ke dalam penggorengan dan seketika terkejut ketika petikan minyak tersebut mengenai tangannya. 

"Aduh … panas," gumamnya perlahan. Dia menahan diri untuk tidak menjerit agar Ryan tidak melihat kekacauan yang dibuatnya.

"Aku pasti bisa. Garam, penyedap, satu sendok makan? Kurang ga ya?" Claudia mengaduk sup dalam panci tanpa mencicipi." Ah, tambahkan sedikit lagi." Gadis yang insting memasaknya tidak peka, menambahkan garam setengah sendok makan ke dalam panci sup berdiameter empat belas sentimeter,

"Beres, ternyata mudah juga ya memasak, baunya harum." Claudia dengan bangga menghirup aroma sup. 

"Loh, Minyaknya kok sudah tinggal sedikit padahal belum dibalik." Claudia dengan perasaan takut membalikan dada ayam yang sudah berwarna coklat di satu sisi. "tambahkan arak masak pasti enak." 

Tanpa berpikir panjang, Claudia menuangkan arak masak teringat aksi masterchef yang seringkali ditonton Sisca dan Jane. 

"Ahhh! Tolong!!!" Teriakan panik Claudia membuat Ryan terjaga dari lamunannya.

Love in PubWhere stories live. Discover now