13. Sebuah hal

217 24 0
                                    

"Menceritakan sesuatu hal kepada orang baru dikenal itu tak mudah seperti mengembalikan telapak tangan, sebab trauma dan rasa takut akan dihianati menghalangi untuk mengucapkannya."

-Agaraya-

Sampai sekarang Raya dan Aga masih duduk ditepi danau.

Gadis itu memutar bola matanya ke arah Aga. "Ga, gue mau nanya lagi boleh gak?"

Laki-laki yang merasa namanya terpanggil langsung tersenyum simpul. "Boleh, silakan," tuturnya lemah lembut.

"Semisal elo tahu sebuah hal tentang gue, apakah elo bakal tetep jagain gue?" Raya menggeserkan badannya menjauhi laki-laki yang ada di depan matanya. Mungkin baginya lebih baik memberikan kode sebelum hal buruk akan terjadi.

Sekelejap ingatannya pergi ke sebuah memori lama.

****

"Raya, elo pergi aja. Gue ga butuh elo. Selamat elo berhasil gue tipu." Seorang laki-laki remaja memakai kacamata bertengger di pelupuk telinganya. Rambutnya hampir menutupi netra matanya.

Disisi lain ada seorang gadis cantik tengah menunduk. Hatinya seakan-akan tercabik-cabik setelah mendengar ucapan laki-laki itu. Sesak dada berhasil mendihkan ubun-ubun. Hatinya terus mengalunkan kalimat yang sama, dirinya telah ditinggalkan dan telah dibohongi oleh orang yang dikira tulus menyayanginya.

Laki-laki itu langsung meninggalkannya sendirian tanpa ada belas kasian ataupun menyesal sekalipun.

"Gue benci elo. Gue benci cowok cupu. Mulai sekarang gue ga bakal buka hati gue. Apalagi cowok cupu." Teriak Raya dengan suara parau. Disertai airmatanya mengalir deras di pipi.

****

Aga menepuk pundak Raya." Raya, kamu kenapa?"

Gadis itu tersadar dari lamunannya yang menyiratkan kenangan pahit tentang dirinya.

'Kenapa sih gue jadi ke ingat dia' batinnya menggerutu karena bisa-bisa memori lama itu masih saja melekat dalam ingatannya.

"Hehe gapapa kok," tuturnya menyengir kuda.

"Aku tadi belum jawab pertanyaan kamu loh." Laki-laki itu menatap lekat setiap inci wajah Raya.

"Iya, sekarang jawab."

Suasana taman ini masih sama aja seperti tadi, sunyi, dingin, dan sepi. Ditambah bau tanah bekas air hujan semakin membuatnya seakan di ada di sebuah desa.

"Sebelum aku balas, boleh ga aku nanya balik?" tanyanya dengan penuh pengharapan.

"Hmm." Lagi-lagi sifat yang melekat dari Raya kembali.

"Maksudnya sesuatu hal itu apa?" Aga masih menunggu jawaban dari Raya sambil berhitung satu, dua, tiga, empat, lima dalam hatinya.

Tapi, dalam hitungan 5 detik itu Raya masih belum membalasnya. Aga pun menekuk wajahnya bibirnya terdiam masih setia menunggu jawaban yang tak kunjung diberi tahu.

Gadis itu justru memejamkan matanya sambil tangan menyilang kedua tangannya di depan dada.
Sontak Aga terkejut apa yang dilakukan oleh Raya.

'Raya kenapa sih? Aneh banget?' batin Aga.

Dirinya sebenarnya ingin membangunkan gadis itu. Namun, melihat gadis itu tersenyum dengan sendu seketika menahan egonya padahal bisa saja dia langsung berkata-kata kasar pada Raya dan menepuk pundaknya.

Baginya kebahagiaan gadis itu lebih penting daripada kehidupannya. Dirinya sudah bertekad untuk selalu menjaganya. Dia juga menyadari mungkin gadis itu lelah setelah menumpahkan segala kesedihannya.

Agaraya [END]Where stories live. Discover now