1. Heretofore

156 21 4
                                    

Beomgyu perlahan membuka matanya, hanya untuk menyambut kegelapan lainnya.

Gelap sekali, batin Beomgyu yang lelah akan kegelapan.

Beomgyu berjalan ke luar dari tempat yang ia sebut sebagai kamarnya, menghampiri jendela yang juga memperlihatkan gelapnya langit.

Ah, masih malam rupanya.

Beomgyu tidak tau pasti sekarang jam berapa, yang pasti artinya dia tertidur di siang hari tadi. Semua jam di rumah itu sudah mati.














Kalau begini Beomgyu jadi bingung harus berbuat apa.

Makan? Tidak bisa. Menganggu saudaranya? Tidak bisa. Membantu ibunya di dapur? Tidak bisa. Bahkan melakukan hal yang paling tidak Beomgyu sukai, belajar, pun tidak bisa.

Hambar.

Rasanya hambar.

Dia ada disana tapi tidak bisa melakukan apa-apa.




















Seperti halnya saat melihat orang tua dan kakak-kakaknya meninggalkan rumah tanpanya, tapi tidak bisa bilang apa-apa.

Beomgyu juga ingin teriak, "Hei! Aku disini! Ajak aku juga!" Tapi tidak bisa.




Jadilah Beomgyu hanya bisa berjongkok di depan ibunya yang membereskan pakaian dengan mata sembab.

Atau melihat ayahnya mengangkat barang ke kereta kuda yang akan mereka tunggangi entah kemana.

Juga termangu melihat saudaranya saling berdiaman merapihkan barang masing-masing, kadang saling menatap lalu melakukan sesuatu; seperti sedang telepati. Saudaranya tidak bertengkar, tidak pernah Beomgyu lihat salah satunya meninggikan suara sejak hari itu.


Aneh.

Rasanya aneh.




















Dia harap dia juga bisa berteriak, menjelaskan bahwa ini bukan salah mereka, mereka seharusnya bercengkrama ria di meja makan seperti bisanya, mereka seharusnya bahagia.


Mulut yang musti ayahnya beri makan berkurang satu, anak yang harus ibunya urus berkurang satu, kakak-kakaknya akan mendapat harta warisan lebih besar. Apalagi yang mereka sedihkan?

Begitu pikir Beomgyu.















Rasanya sakit saat melihat kakak laki-lakinya meletakkan setangkai mawar dan boneka beruang di kasur yang biasa Beomgyu tiduri.

Kasur miliknya ditinggalkan dengan seprai, seakan tau dia akan menghabiskan keabadian disana.















Sakit, ketika melihat keluarganya pergi dari rumah; tempat mereka menghabiskan hari-hari bersama sepanjang hidupnya.

Sakit, karena Beomgyu hanya bisa melambaikan tangan kepada mereka yang hanya melihat udara.

Sakit.

Rasanya sakit sekali.

Berkali-kali Beomgyu menatap gembok besar yang mengunci pagar rumahnya. Apa ini tanda keluarganya akan kembali? Tidak dalam waktu dekat, tapi akan kembali, kan? Itulah gunanya gembok, kan, dikunci agar suatu saat bisa dibuka?


Dan gembok itu menjadi satu-satunya harapan Beomgyu untuk hidup.



































Beomgyu menghela napas.

Kenapa dia sendirian?

Di cerita-cerita yang dia baca, harusnya mereka berkumpul, meninggali satu tempat berdampingan dengan penghuni aslinya.

Tapi kenapa dia sendirian?

Bukankah biasanya rumah kosong langsung punya banyak penghuni lain?

Lantas kenapa dia sendirian?


Apakah menjadi faktor penentu bila penghuni lain rumah adalah penghuni asli rumah tersebut?

Beomgyu ingin pergi, tapi takut terlalu jauh; kemudian keluarganya kembali ke rumah, dan dia tidak tau.


Jadi, Beomgyu hanya bisa diam, menunggu, meski kalender masehi yang tertancap di dinding kamar kakak perempuannya sudah dia balik berkali-kali, penuh coretan—yang entah bagaimana bisa dibuatnya—dari spidol merah jambu—yang entah bagaimana pula ditinggalkan kakak perempuannya— menandakan berapa lama dia sudah disana.















Kadang Beomgyu melihat seekor burung terbang memasuki pekarangan rumahnya. Kadang bisa ada banyak sekali. Namun mereka hanya singgah, tak sampai semenit kemudian kembali mengudara.

Beomgyu iri.

Beomgyu juga ingin terbang.

Dari cerita yang Beomgyu baca, dia seharusnya bisa terbang.





























Dari semua yang sudah terjadi, pertanyaan Beomgyu yang menjadi pusat segala pertanyaannya hanya satu,

Apa salah Beomgyu?

I Found HerWhere stories live. Discover now