Six

1.4K 219 17
                                    

Di pelabuhan penyeberangan kapal antara Macau dan Hong Kong aku berjalan seorang diri. Pelabuhan ini sangat sepi terlebih hari sudah tengah malam. Dari kejauhan aku melihat kapal-kapal yang sedang mengangkut muatan dan ada juga yang sedang bersandar. Ada banyak mobil pengangkut barang yang sedang terparkir menunggu giliran untuk menyeberang. Aku mengedarkan pandangan, mencari kehadiran Jason Lao sementara insting bertahan diriku terus menyala sejak aku turun dari Taxi dan menginjakkan kaki di sini. Aku tidak tahu bahaya apa yang sedang mengintai diriku, yang pasti aku harus bersiap.

Tidak ada siapapun yang mengetahui kepergianku ke pelabuhan ini untuk menemui Jason Lao. Eric tidak bisa dihubungi, Tyler terlalu sibuk bekerja dan Luca, sejak kemarin malam aku belum melihat kehadirannya, nampaknya lelaki itu masih sangat marah kepadaku. Tapi terlepas dari itu semua, datang ke sini adalah keputusanku. Aku harus menyelesaikan urusanku dengan Jason Lao, si pembunuh keluargaku.

"Sophia Lee?"

Aku perlahan menoleh dan terlihat Jason Lao muncul dari balik peti kemas seorang diri dengan penampilannya yang selalu berjas serta rambut yang lebih penjang dari terakhir kali aku melihatnya.

"Jadi Sophia Lee yang terkenal itu adalah dirimu, Stephanie Wu?"

Kini aku sudah menghadap Jason yang sedang melangkah menghampiriku, satu tangannya dimasukan ke saku celananya. Langkah Jason terhenti, menyisakan jarak sekitar tiga meter dariku.

Aku yakin dia sudah mengetahui tentang Sophia Lee dan diriku sejak lama, tentu saja itu sangat mudah untuknya mencari tahu hal seperti itu. Namun mengapa baru sekarang Jason ingin menemuiku? Tidak berlangsung lama setelah aku mengetahui bahwa dia adalah pembunuh asli keluargaku.

"Mengapa kau ingin bertemu denganku?"

"Bukankah ada banyak hal yang ingin kau ketahui dariku?"

Ucapannya memang benar, tetapi bukan itu yang aku inginkan saat ini.

"Serahkan dirimu ke polisi," ucapku dingin dan itu justru membuat Jason menyunggingkan senyumnya.

"Atas dasar apa kau mengatakan itu?"

"Aku sudah tahu semuanya dan aku punya buktinya, kau pasti tidak akan bisa mengelak." Aku maju selangkah. "Mengapa kau membunuh mereka?" ucapku dengan tenang namun mataku terasa sangat panas menahan sesak di dadaku ketika kembali mengingat rekaman ledakan mobil itu.

Jason terlihat membeku, otot lehernya terlihat menegang dan rahangnya mengetat. Jason menelan salivanya berusaha untuk membuat dirinya agar tetap tenang.

"Sebelum menjawab pertanyaan itu. Sudahkah kau menyelidiki latar belakang orang tuamu? Kehidupan mereka sebelum meninggal dan hubungannya dengan orang tua Luca Huang."

"Orang tua Luca Huang?" Alisku berkerut.

"Kau belum mencaritahunya?"

Aku terdiam, benar juga yang Jason katakan. Selama ini aku terlalu sibuk memikirkan untuk membalaskan dendam mereka yang sudah tiada sementara aku bahkan tak tahu apa-apa tentang kehidupan keluargaku sebelum mereka meninggal.

"Kau tidak tahu musuh seperti apa yang sedang kau hadapi. Bahkan hukum tidak berlaku untuk sebagian orang. Tidak ada yang bisa kau lakukan meskipun kau mengungkapnya."

Kedua tanganku mengepal mendengarnya, dia terlalu meremehkan diriku dan hal itu yang membuat diriku semakin ingin menghancurkannya.

"Akan aku pastikan bagi mereka yang terlibat untuk mendapatkan hukuman yang setimpal. Kau tidak perlu khawatir Jason, meski hukumanmu tidak sekarang namun suatu saat nanti kau pasti akan mendapatkannya."

Jason hanya membalasku dengan senyuman, ia kembali berbalik dan melangkah pergi meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah ia kembali menoleh.

"Aku hampir lupa mengatakan ini." Sudut mataku mengerut. "Tidak ada seorangpun yang hidup setelah mengetahui semua rahasia ini."

Tepat setelah itu tiba-tiba dari belakang seseorang membekap wajahku dan dalam waktu singkat aku kehilangan kendali, tubuhku melemas dan aku tidak sadarkan diri.

***

Aku terbangun begitu merasakan dingin yang luar biasa menusuk kulitku. Pandanganku yang semula kabur perlahan mulai jelas dan rasa pening di kepalaku perlahan menghilang digantikan dengan rasa dingin yang membuat tubuhku menggigil. Pandanganku melesat melihat ke sekitarku, aku seperti berada dalam peti kemas truk pendingin, bahkan saking dinginnya sampai mengeluarkan kepulan asap. Saat kesadaranku sudah benar-benar pulih pupil mataku seketika melebar, aku segera beranjak bangun. Ternyata aku benar-benar berada di dalam box pendingin.

Aku segera berlari berusaha untuk membuka pintu box ini namun sangat sulit karena pintu ini dikunci dari luar.

"TOLONG!!!" Aku berteriak sekencang mungkin.

"APAKAH ADA ORANG DI LUAR?! TOLONG KELUARKAN AKU DARI SINI!!"

Tak ada respon apapun yang aku rasakan hanya keheningan. Lututku tiba-tiba terasa ngilu dan kakiku lemas. Jason Lao sialan! Pria itu adalah monster yang sesungguhnya.

Aku yang sudah duduk bersandar lalu merogoh saku celana untuk mencari ponselku. Bersyukurlah ia tak mengambil ponselku, kini ponsel adalah pertolongan satu-satunya untukku. Namun ketika membuka ponsel aku melihat tak ada jaringan yang masuk, aku yang sudah sangat menggigil dengan tubuh yang gemetar dan dada yang mulai tersengal kembali beranjak untuk mencari sinyal, yang terpikir di otakku saat ini hanyalah Luca Huang. Aku berusaha untuk menghubunginya ketika ada sedikit jaringan yang masuk sebelum hilang kembali.

"Aku mohon Luca, angkatlah ...." aku berucap sambil gemetar menahan dingin. "Luca ... ku mohon angkat." Dadaku semakin menggigil.

Luca tak mengangkat panggilanku setelah berkali-kali berusaha ku hubungi. Nama Tyler langsung muncul, namun begitu ingat aku tak memiliki nomor ponselnya aku meremas rambutku frustasi.

"Eric," lirihku dan ketika aku hendak menghubunginya sinyalku kembali menghilang kemudian ponselku mati begitu saja.

Aku mengusap wajah lalu menyibak rambutku yang terurai, kini aku benar-benar putus asa. Perlahan aku meluruh karena kakiku sudah mati rasa, di sudut box ini aku meringkuk memeluk diriku sendiri menahan dingin yang sangat luar biasa. Rasanya seperti ada banyak jarum yang sedang menusuk-nusuk kulitku, dadaku semakin gemetar tak terkendali, mulai dari telapak kaki hingga tanganku terasa kaku. Kini aku tidak bisa merasakan dingin lagi, rasa dingin itu berganti dengan rasa panas sementara pandanganku mulai kabur. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap terjaga.

Ayah ...

Ibu ...

Olivia ...

Apakah begini rasanya dijemput oleh kematian?

Bersamaan dengan mataku yang terpejam air mata menetes dari sudut mataku dan telingaku mulai berdenging, hingga sebelum kedasaranku sepenuhnya menghilang, aku melihat cahaya terang dari luar serta teriakan seseorang yang memanggil namaku.

"STEPHANIE!!!"

DANGER 2: Love and War ✔️Where stories live. Discover now