Sixteen

942 146 42
                                    

Dalam diam aku memperhatikan Tyler yang sedang bekerja dibalik mesin kopinya. Aku hampir lupa bahwa ia merupakan seorang pemilik cafe dibalik dirinya sebagai agen intelejen negara. Memikirkannya membuatku tanpa sadar tersenyum, aku teringat bagaimana pertemuan pertamaku dengan Tyler saat di cafe ini. Hampir tak percaya bahwa ada lelaki setampan dirinya, orang lain mungkin akan terkejut jika mengetahui sisi lain Tyler. Bayangan ketika Tyler menyelamatkanku dari bahaya seketika membuat dadaku berdebar.

Mataku mengerjap saat Tyler tiba-tiba muncul dihadapanku dengan senyum manis di bibirnya. Ia membawakanku segelas espresso yang ia buat.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

Aku tersipu. Tentu saja dirimu!

Alih-alih mengatakan itu aku justru menggeleng lalu mengalihkan pandanganku menuju espresso.

"Boleh aku coba?"

"Tentu saja." Ia melipat tangannya di atas meja.

Aku menyeruput espresso itu, lalu kembali menatapnya. "Seperti kopi pada umumnya."

Ucapanku membuat Tyler tergelak.

"Sejak kapan kau membuka cafe ini?"

"Sekitar tiga tahun yang lalu."

"Apakah pekerjamu tidak curiga jika kau menghilang untuk waktu yang lama?"

"Mereka tidak peduli, yang terpenting aku tetap menggaji mereka."

Aku terkekeh seraya menunduk.

"Stephanie?"

"Hm?" Aku kembali menatapnya, mata Tyler memandangku dengan tatapan dalam. Ia terdiam cukup lama, sampai tiba-tiba ia meraih satu tanganku untuk digenggamnya.

"Jangan pernah pergi ke tempat yang tidak bisa aku ikuti."

Aku tertegun menatapnya, tidak mengerti maksud ucapan Tyler. Namun aku hanya mengangguk pelan seraya tersenyum tipis.

***

"Ini."

Aku hampir terperanjat ketika Eric tiba-tiba menyodorkan beberapa lembar kertas kepadaku. Kuletakan snack yang sedang kunikmati di atas meja, aku menegakkan posisi duduk lalu mengambil kertas yang Eric berikan.

"Kau sudah menemukan titik terang?" Tanya Eric duduk di sebelahku lalu mengambil snack milikku.

Seraya mengecek kertas yang Eric berikan aku menggeleng pelan. "Aku semakin jauh dari apa yang kucari."

"Maksudmu?"

"Ucapanmu tentang James Wang memang benar, dia brengsek dan sangat gila."

Dahi Eric mengerut. "Apakah dia melakukan sesuatu kepadamu?"

"Camorra, apakah kau mengingatnya?" Ia mengangguk. "Aku melihat transaksi mereka di kapal. Camorra memberikan organ tubuh manusia sebagai bayaran untuk narkoba yang James Wang berikan."

Mata Eric memicing. "Untuk apa Camorra memberikan organ tubuh itu?"

"Aku juga tidak tahu," ujarku mengangkat bahu sementara Eric tiba-tiba terdiam. Aku kembali memeriksa kertas itu.

"Bukankah mereka orang yang sama?" Tanyaku ketika melihat foto pria di data yang Eric berikan persis seperti pria yang muncul pada tayangan berita di televisi.

Eric memeriksa kertas yang aku tunjukan lalu melihat ke televisi, ia lantas mengangguk. "Benar. Dia David Zhong yang saat ini menjabat sebagai Dewan Negara."

Dengan cepat aku memeriksa latar belakang David Zhong, berdasarkan pengalaman kerjanya ia pernah ditempatkan dibidang yang sama dengan Sebastian Wu. Aku meletakkan kertas itu di meja, tatapanku kembali tertuju ke televisi yang masih menyiarkan berita David Zhong yang tersandung kasus korupsi.

DANGER 2: Love and War ✔️Where stories live. Discover now