Thirty-seven

267 39 0
                                    

Hari ini Sevda memintaku untuk membantunya memetik bunga, musim semi memang waktunya bunga-bunga bermekaran, tumbuhan mulai menumbuhkan tunas-tunas baru, binatang juga muncul dan keluar dari tempat persembunyiannya. Tiap pagi aku disambut oleh kokokan ayam dan kicauan burung-burung.

Keranjang yang aku bawa sudah penuh dengan bunga poppy, Sevda bilang ia akan membuat selai dari bunga tersebut. Sevda memang memiliki tangan ajaib, tumbuhan apapun dapat diolah menjadi makanan olehnya. Suaminya juga sangat suka berkebun, mereka memiliki banyak hewan ternak, seperti ayam, kalkun, bebek, kambing sampai peliharaan anjing, kucing dan kelinci.

Aku memberikan keranjang tersebut kepada Sevda yang kemudian dimasukan ke tempat yang lebih besar. Sevda menyuruhku untuk pulang lebih dulu, pekerjaan kami di kebun bunga ini sudah selesai.

"Kalau begitu, aku duluan." Aku izin pulang pada Alim dan Sevda. Kebetulan jarak rumah dan kebun tidak terlalu jauh, dalam perjalanan aku juga bisa menikmati pemandangan pegunungan yang indah.

Dari jarak beberapa meter aku melihat gerbang rumah terbuka, seingatku sebelum pergi ke kebun aku sudah menutupnya. Mungkin anak Sevda atau Alim sedang berada di rumahnya. Aku hanya mengangkat bahu ringan lalu kembali melangkah. Namun begitu memasuki halaman rumah, aku justru melihat seorang lelaki berambut perak sedang duduk di bangku taman. Seolah sudah menanti-nanti kehadiranku, ia pun beranjak berdiri seakan menyambut kedatanganku. Langkahku terhenti dan tubuhku berdiri kaku seolah kaki ini enggan digerakkan. Pupil mataku melebar kala tatapannya bertemu dengan mataku. Alexander Konstantain, apa yang sedang ia lakukan di sini?

"Stephanie." Dia menyapaku dengan senyum palsu di wajahnya. Pandanganku lalu beralih pada tiga orang asing yang baru saja keluar dari rumahku. Melihat itu tanganku yang gemetar mengepal kencang.

Salah satu dari mereka memberikan isyarat pada Alexander dengan menggelengkan kepala.

"A-apa yang kalian lakukan disini?"

Alexander melangkah menghampiriku. Ia mengangkat bahunya setelah berada di hadapanku. "Apa lagi selain barang yang disembunyikan oleh kekasihmu."

Mataku yang terasa panas memicing menatapnya. "Apa?!" Aku hampir tak bersuara mengatakannya.

"Dimana kau menyembunyikan microchip itu?"

Microchip? Apa maksudnya? Leonidas bahkan tidak mengatakan apapun sejak ia mengajakku pergi ke sini sampai lelaki itu tiba-tiba menghilang. Apakah jangan-jangan Leonidas membawanya dari laboratorium itu?

"Aku tidak tahu. Sebaiknya kau pergi dari sini." Aku berusaha mengabaikannya, melangkah meninggalkan Alexander.

"Kau pasti tidak tahu bahwa Leonidas selama ini pergi berpindah-pindah tempat untuk menghindari kami."

Langkahku terhenti, aku berusaha untuk tidak menoleh kepada Alexander.

"Stephanie, hidupmu dan Leonidas tidak akan pernah tenang, kau sadar itu bukan?"

Mataku terasa panas. Aku berusaha menahan emosiku melalui kepalan tangan. Tidak. Aku harus kuat. Mereka pasti datang kesini hanya untuk memancing Leonidas. Semuanya akan baik-baik saja. Tenanglah Stephanie.

Tidak ada yang Alexander katakan lagi, ia dan para anak buahnya kemudian pergi meninggalkan pekarangan rumah. Sementara aku, masih berdiri dan merasakan air mata yang tak berhenti mengalir di pipiku.

Leonidas, aku harap kau tidak pernah kembali dan pergi sejauh mungkin agar mereka tidak bisa menangkapmu.

***

Kondisi rumahku yang semula rapih menjadi kacau setelah ketiga anak buah Alexander menerobos masuk. Aku hanya bisa terdiam melihat kekacauan itu, tidak memiliki tenaga untuk merapihkan. Dalam hati aku sudah benar-benar lelah. Sampai kapan aku harus hidup dalam bayang-bayang mereka?

DANGER 2: Love and War ✔️Where stories live. Discover now