Twenty-one

864 139 20
                                    

Luca keluar dari mobil begitu sampai di safehouse —rumah kedua orang tuanya yang dijadikan tempat persembunyian—. Langkahnya lebar memasuki rumah, begitu membuka pintu, kakinya terhenti. Ia diam sejenak ketika melihat isi rumah tersebut sudah berantakan. Luca pun menerobos masuk, matanya menyesir kalut.

"STEPHANIE?! WILLY?!" Luca berteriak memanggil nama itu seraya memeriksa seluruh ruangan. Namun nihil, ia tak menemukan siapapun di sana.

Tangan Luca mengepal erat hingga buku jarinya memutih. Ini tidak seperti yang dipikirkannya bukan? Mereka tidak mungkin menangkap Stephanie dan Willy 'kan? Luca berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa semua dugaan dalam benaknya itu salah. Sampai akhirnya ia menemukan secarik kertas yang tertempel di meja ruang tengah.

Kau tahu harus menghubungi siapa jika ingin menemukan mereka.

Ps. Waktumu tidak banyak, jika telat semenit saja mungkin kau akan menemukan jasad mereka di dasar laut.

Brengsek!!

Luca memaki dalam hati seraya memukul meja kaca hingga membuatnya sedikit retak.

***

Layaknya orang yang kesetanan, Luca menyetir mobil dengan kecepatan penuh, ia tak mempedulikan pengendara lain yang beberapa kali hampir ditabraknya. Dalam pikirannya saat ini adalah cara menyelamatkan Stephanie. Ia bagai dikejar waktu yang bisa saja akan merubah segalanya.

Tidak, Stephanie tidak boleh mati begitu saja.

Begitu sampai di lokasi yang Jason Lao berikan, Luca memarkirkan mobilnya dengan asal di depan Mansion tua seperti tak berpenghuni.

Emosi sudah menguasai dirinya, ia melangkah lebar dengan sorot mata tajam seolah siap membunuh siapapun yang menghalangi langkahnya. Baru mencapai beberapa undak tangga, tiba-tiba Luca merasakan sakit luar biasa ketika belakang kepalanya terasa dihantam sangat keras. Ia hampir kehilangan keseimbangan dan kesadarannya, tapi belum sempat menoleh tiba-tiba kepalanya langsung dibungkus oleh kain hitam dan Luca pun jatuh begitu saja.

Kesadaran Luca kembali ketika ia merasakan sekujur tubuhnya seperti remuk. Rasa dingin lantai terasa menusuk kulitnya, ia berusaha membuka matanya yang perih dan berat. Luca yakin jika wajah dan tubuhnya sudah babak belur. Suara orang-orang yang sedang menendangnya beramai membuat Luca berusaha menajamkan indera pendengarannya karena saat ini ia tidak bisa mengandalkan pandangannya yang tertutup.

Luca berusaha untuk bergerak namun ia baru sadar bahwa tangan dan kakinya terikat dengan sangat erat.

"Sepertinya dia sudah sadar Bos." Suara berat salah seorang lelaki terdengar dan sesaat kemudian penutup kepala Luca pun dibuka.

Orang yang pertama kali muncul di pandangan Luca adalah Jason Lao. Ia tersenyum miring dengan pandangan mata yang dingin.

Jason Lao memberikan intruksi menyingkir pada anak buahnya yang memukuli Luca, mereka berjumlah sekitar lima orang.

Melihat penampakan Jason Lao membuat Luca seketika lupa akan rasa sakit dan perih di tubuhnya. Emosi dan adrenalin kembali menguasai Luca, dengan susah payah ia berusaha untuk mendudukan tubuhnya.

"Dimana Stephanie?!" Tanya Luca dengan suara yang hampir parau dan tatapan sengit.

"Tenang saja. Dia berada di tempat yang aman saat ini."

"BRENGSEK! Jangan berani menyentuhnya sedikit pun!"

Jason menghembuskan kepulan asap rokoknya, ia membuang puntung rokok yang baru dihisapnya setengah lalu ia menginjak, menekan dan menggeseknya.

"Aku sedang membayangkan puntung rokok ini adalah kepalamu." Jason menatap Luca yang tidak berdaya di hadapannya. "Sejujurnya, aku tidak mengharapkan kita berpisah seperti ini. Padahal ketika pertama kali melihatmu, aku menemukan bakat dan tekad yang luar biasa pada dirimu."

Mata Luca memicing tajam.

"Kau lupa? Padahal kita pernah berpapasan di kantor badan intelejen negara. Saat itu kau masih anak baru yang memiliki ambisi besar. Oh, aku tidak bisa melupakan hari pelantikanmu karena itu sekaligus menjadi hari terakhirku bekerja di sana."

"Pengkhianat!" Gerutu Luca dengan rahang mengetat.

Jason hanya tersenyum miring, ia melangkah mendekat lalu menendang dada Luca dengan sepatu pantofelnya yang mengkilat. Begitu Luca terkapar, Jason menahan dada Luca dengan satu kakinya sehingga membuat Luca tak berdaya di bawahnya.

"Kau tahu alasan Edward memburumu dan Stephanie?" Jason memberikan jeda sejenak. "Karena baginya kalian berdua adalah ancaman, dan sebuah ancaman harus dilenyapkan."

Luca hanya menatap lurus mata Jason Lao, kini dalam benaknya ia hanya mengharapkan keajaiban. Kalau pun memang ini merupakan hari terakhirnya, Luca berharap masih ada keajaiban untuk Stephanie agar ia bisa tetap hidup dan membalaskan dendamnya.

"Sekarang aku akan memberikanmu pilihan. Kematian seperti apa yang kau inginkan?"

"Dimana Stephanie?"

"Dia akan mendapatkan gilirannya setelah ini."

Perlahan, dengan sudut bibir yang perih, Luca berusaha menyunggingkan senyum mengejeknya. Kini ia semakin yakin bahwa ini semua hanyalah jebakan yang dibuat untuk menangkapnya.

"Kau adalah pecundang terburuk yang pernah aku tahu."

Mata Jason Lao melebar, ia terlihat tak terima sehingga membuatnya mengeluarkan pistol dan mengarahkannya tepat pada kepala Luca.

Luca memejamkan mata sebelum ajal menjemputnya. Meski ia bukan seorang yang religius, dalam hatinya ia berdoa, dimanapun Stephanie berada ia meminta agar Tuhan selalu melindunginya.

Lalu suara letusan tembakan pun menggema di dalam Mansion tua tak berpenghuni itu.

DANGER 2: Love and War ✔️Where stories live. Discover now