Bab 6

1.2K 234 20
                                    

Renjana di Ujung Senja
Bab 6

Tidak! Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku tidak mau nasibku berakhir mengenaskan dan sia-sia di tangan seorang pemabuk yang merupakan tetanggaku sendiri.

Aku kembali berteriak memanggil Orenji hingga suaraku serak dan tenggorokanku sakit. Aku berusaha menepis tangan Dano yang ingin menurunkan celana trainingku.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku merasa menyesal tinggal di rumah di tepi hutan yang sepi seperti ini.

"Tidak! Hentikan!" Meskipun percuma meneriaki pemabuk, aku tidak ingin menyerah. Bukankah manusia harus terus berusaha hingga napasnya terhenti?

"Ayuning!"

Kejadiannya begitu cepat. Dadaku tidak terasa sesak lagi karena Dano sudah tidak menindihku. Mataku yang memburam oleh air mata menyaksikan perkelahian dua lelaki di kamarku. Mereka saling adu tinju dan tendangan. Terdengar makian kasar, erangan, suara benda membentur lemari, bunyi barang pecah belah yang jatuh ke lantai, dan kegaduhan lainnya. Sedangkan aku hanya mampu terduduk seperti orang bodoh menyaksikan semua itu. Sampai akhirnya baku hantam itu mereda, lelaki yang satu terbaring di lantai tidak bergerak, sementara yang lainnya duduk bersandar ke lemari dengan deru napas memburu, wajah memerah, dan sudut bibir berdarah.

Aku masih terlalu takut untuk bergerak.

"Ayuning..." Rajen bangkit berdiri, lalu duduk di tepi kasur, menarikku ke dalam pelukannya. "Syukurlah... syukurlah kamu baik-baik saja."

Aku dapat merasakan detak kencang jantung Rajen dan napasnya yang masih tersengal.

"Tuhan, terima kasih." Rajen masih mendekapku sangat erat, tetapi aku mendorongnya karena kesulitan bernapas.

Mata kami bertatapan. Wajah Rajen berpeluh, penuh memar dan luka berdarah. Di saat seperti ini, seharusnya aku mengucapkan terima kasih karena berkat dirinya, mahkotaku masih utuh. Namun, kenapa lidahku terasa kelu, tak mampu berucap?

"Seandainya kamu tidak berteriak, aku tidak akan tahu kondisimu. Sebenarnya... apa yang terjadi?" tanya Rajen seraya menutupi tubuh bagian atasku yang telanjang dengan selimut.

Aku membuang pandangan. "Aku... saya tidak tahu. Saat saya terbangun, dia... sudah berada di rumah ini dan mengira saya salah masuk ke rumahnya. Dia pikir... dia pikir saya... pelacur," jelasku dengan kening berkerut.

"Katamu... tempat ini aman. Apa kamu berbohong kepadaku? Apa kejadian seperti ini sering terjadi?"

Aku merapatkan selimut, masih tidak mau menatapnya. Aku menggeleng. "Selama ini saya selalu baik-baik saja. Kejadian barusan baru kali ini terjadi. Biasanya ada Orenji bersama saya, tetapi... saya tidak tahu dia di mana." Teringat Orenji, aku bangkit hendak mencarinya.

"Mau ke mana?" Rajen menahanku tetap di tempat tidur.

"Mencari Orenji."

"Aku obati dulu lukamu, bibirmu berdarah dan pipimu merah. Pemabuk itu melukaimu." Rajen bangkit berdiri. "Apa kamu punya tali? Biar kuikat dia. Tadi kamu bilang dia mengira kamu salah masuk ke rumahnya, memang di mana rumahnya? Kamu mengenalnya?"

"Saya tidak punya tali. Dano... dia tetangga saya dan rumahnya... yang paling dekat dengan rumah ini, cat biru."

Rajen termangu. "Dia tetanggamu persis?"

Aku mengangguk. "Kalau kamu mengantar Dano pulang, tolong jangan beri tahu istrinya tentang kejadian barusan. Jangan katakan bahwa dia salah masuk ke rumah saya," pintaku.

"Dia sudah menikah?" Rajen membelalak.

"Sudah punya anak juga."

Rajen menggeleng-geleng tak percaya. Ia berjalan keluar dari kamar.

"Tolong bilang saja kamu menemukannya di tepi hutan atau terserah di mana pun." Aku mengingatkan Rajen saat ia kembali dengan kotak obat di tangannya.

"Aku akan obati lukamu dulu, baru membawa pemabuk itu pulang."

"Saya bisa melakukannya sendiri. Kamu obati saja lukamu." Aku menepis tangan Rajen yang hendak mengobati bibirku.

"Diamlah," ucap Rajen dingin membuatku terdiam dan akhirnya membiarkan ia mengolesi minyak tawon pada sudut bibirku. "Besok... kamu ikut aku pulang ke Jakarta."

Aku membelalak. Kutepis tangannya yang masih mengolesi lukaku. "Tidak! Saya tidak harus mengikutimu. Kamu bukan siapa-siapa saya."

"Di sini terlalu berbahaya. Kalau kejadian seperti tadi terulang, bagaimana?"

"Saya punya Juan dan Orenji yang akan menolong."

"Sekarang pun mereka tidak ada, Ayuning." Rajen menatapku dengan tajam. "Lagi pula... Juan bukan kekasihmu, jangan meminta perlindungan kepadanya."

"Ap...."

Rajen menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Matanya masih menatapku lekat. "Juan sudah menjelaskan hubungan kalian kepadaku. Dia adik ipar Kak Ditira dan biasa ke desa ini untuk membawakan makanan beku pesananmu dan juga pesanan warung besar di dekat puskesmas."

"Kenapa kamu mengorek-ngorek?!" tanyaku antara marah dan malu.

"Aku tidak melakukannya. Juan sendiri yang bercerita saat kami tidak sengaja bertemu di danau."

Aku terdiam.

"Makanya aku ke sini... untuk meminta maaf atas kata-kata kasarku tentang kamu dan Juan. Lalu... beberapa meter sebelum aku sampai sini, aku mendengar teriakanmu."

Aku mengusap wajah. Seandainya Rajen tidak ke rumahku, pasti aku... ah, aku tidak ingin membayangkannya.

"Kamu ikut ke Jakarta denganku. Tidak perlu ke rumahku. Kamu bisa kembali tinggal di rumah lamamu. Di sana jauh lebih aman daripada di sini."

"Saya sudah menjualnya, dan kamu tahu itu."

"Aku sudah membeli rumahmu dan kakakmu dari Pak Mustafa."

Aku menatap Rajen, menganga. Apa katanya?

"Oh ya..." Lelaki itu memiringkan kepalanya, menatapku dengan kedua alis tebalnya nyaris menyatu. "Kenapa kamu berteriak meminta tolong pada Orenji alih-alih menyebut namaku atau Juan?"

Aku membalas tatapan Rajen dingin. "Sudah kukatakan tadi, selama ada Orenji bersamaku, aku selalu aman. Aku memanggil namanya karena..." aku menjeda sementara lelaki itu menunggu jawaban, "cuma dia yang menemaniku selama ini, hanya dia, satu-satunya. Jadi, kupikir hanya dia yang bisa menyelamatkanku, bukan Juan, orang lain, apalagi kamu."

***

Putri Permatasari, Selasa, 26 Oktober 2021, 11: 55 wib.

Makasih udah sempetin baca, vote, dan komentar di cerita Ayuning
😊

Renjana di Ujung Senja by EmeraldOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz