RDUS - Bab 12

558 78 25
                                    

Renjana di Ujung Senja - Bab 12

Bayangan Rajen yang memasuki kehangatan sang istri seketika memadamkan gairahku. Aku mendorong Rajen dengan kasar membuat pria itu nyaris terjungkal dari ranjang. Air mata memburamkan pandangan. Dadaku naik turun dengan cepat dirasuki amarah serta rasa cemburu. Aku meraih handuk untuk menutupi ketelanjanganku.

“Pergi dari rumahku!”

“T-tapi, Yu….”

“Pergi dari rumahku sekarang atau pernikahan kita batal!”

“Oke, Yu, aku pergi. Tapi tolong jangan batalkan pernikahan kita. Ya?”

“Satu….”

Rajen yang masih memakai kaus dan celana training segera turun dari ranjang dan berbalik menuju pintu kamar. Selama beberapa saat ia berkutat dengan anak kunci sebelum akhirnya pintu terkuak dan ia segera keluar.

“Aku pulang, Yu, jangan lupa kunci pintu rumah!”

Terdengar pintu depan dibuka lalu ditutup. Aku mengembuskan napas. Aku menjambak pelan rambut ikal panjangku yang masih basah.

Selama aku belum ikhlas, aku takkan pernah bisa melakukan hubungan intim dengan Rajen. Entah apakah waktu dua tahun pernikahan kami kelak akan cukup untuk menyembuhkan luka hatiku dan melenyapkan bayangan mantan istri Rajen dari benakku.

Orenji berjalan masuk ke dalam kamar lantas melompat ke kasur.

“Ehm, kamu lapar?”

Orenji mengeong sambil menggesekkan kepalanya ke telapak tanganku dan aku pun tersenyum.

“Tunggu, ya, aku pakai baju dulu.” Setelahnya aku turun dan melangkah menuju lemari pakaian. Tanpa sengaja aku melihat bayanganku di cermin. Di leher sebelah kiri terdapat bekas ciuman Rajen. Seketika tubuhku merinding.

Aku lekas membuka lemari dan memakai pakaian: turtleneck blouse dan celana selutut. Setelah memberi makan Orenji, aku memetik pepaya muda, tomat, dan cabai di kebun untuk membuat sayur dengan kuah santan pedas.

Sayangnya, aku memasak terlalu banyak. Kebetulan hari ini Sabtu dan sore nanti Juan akan mengantarkan frozen food pesananku. Aku pun menelepon lelaki itu dan mengundangnya makan sore di rumah.

“Kebetulan aku lagi lapar. Boleh aku mampir untuk makan siang sekarang?” Juan terkekeh di seberang telepon.

“Kamu sudah di sini?”

“Iya, aku sedang mancing di danau dengan Pak Fandy dan V. Aku sengaja antar pesanan pagi-pagi ke warung biar bisa mancing,” jelas Juan.

“Oh, ya sudah aku tunggu, Juan. Makanannya sudah jadi.”

Setelah Juan mengucapkan terima kasih, aku memutus sambungan telepon.

Lima belas menit kemudian ketika membuka pintu utama, aku tertegun mendapati tidak hanya Juan yang berdiri di teras, tetapi juga mantan kekasihku sepuluh tahun lalu.

“Aku membawa pasukan, tidak apa-apa, kan. Katanya Pak Rajen juga belum makan siang.”

Aku mengembuskan napas pelan dan mempersilakan keduanya masuk.

Tidak ada senyum di wajah Rajen, hanya kesenduan di sana. Terlebih ketika aku dan Juan mengobrol, Rajen hanya makan dalam diam. Aku tidak peduli apa masalahnya. Apa makanannya tidak enak? Biar saja.

“Sering-sering saja seperti ini, Yu.”

“Nanti kami usahakan untuk sering undang kamu makan-makan di Jakarta,” ucap Rajen tiba-tiba, membuat Juan menoleh ke arah pria itu dengan bingung.

Renjana di Ujung Senja by EmeraldWhere stories live. Discover now