RDUS - Bab 13

440 61 8
                                    

RDUS - Bab 13


Aku tidak bisa tidur semalaman. Aku bimbang. Rasanya aku tidak sanggup meninggalkan rumahku yang selama bertahun-tahun ini kutinggali bersama Orenji. Suasana alam pedesaan yang membuatku nyaman dan betah, rumah dan kebun kecilku, danau tempat aku biasa berenang atau hanya kunikmati pemandangannya, Pak Fandy dan Bu Rury yang tinggal di tepi danau dan juga peliharaan mereka, Jerome.

Aku memeluk lutut.

Rajen… apa jika nanti aku menikah dengannya, kami akan bahagia, atau malah makin terpisah karena hatiku yang masih belum ikhlas?

Apa yang harus kulakukan?

Aku masih terjaga ketika terdengar cuitan burung di luar jendela. Aku meregangkan otot kemudian turun dari tempat tidur dan membuka jendela. Pemandangan hutan di depanku tidak pernah membuatku merasa bosan.

Bagaimana mungkin aku meninggalkan semua ini hanya untuk menikah dengan Rajen? Aku… sudah bahagia dengan kesendirianku. Menikmati menulis novel yang terkadang dikejar deadline, bersantai dengan Orenji, memasak hasil kebun sendiri.

Kemudian, sekonyong-konyong Rajen melangkah pelan dan berdiri di depan jendela kamarku dengan senyum lebar hingga memperlihatkan leluk di pipi kanannya. Pagi-pagi sekali pria itu telah rapi mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku dan celana panjang krem. Di tangan kanannya ada seikat bunga mawar dan di tangan satunya ada dua batang cokelat.

“Selamat pagi, Ayuning,” sapanya masih dengan senyum menawannya yang membuatku teringat masa lalu. Senyum lesung pipinya selalu menggemaskan membuatku ingin menciumnya.

Seketika air mataku mengalir.

“Yu? Kamu kenapa?” Rajen bergegas menghampiriku ke jendela. “Kenapa menangis?”

Aku tahu, jauh di dalam lubuk hatiku, aku masih sangat mencintai Rajen, masih menginginkannya, masih menantinya.

Aku masih saja menangis membuat Rajen serba salah. Ia sungkan untuk memelukku. Akulah yang kemudian memeluknya. Kedua tanganku melingkari leher kokohnya dan aku kembali menumpahkan air mataku.

Aku… mencintaimu, Rajen.

***

Rajen menyeduh teh melati lalu memberikannya kepadaku yang sedang memangku Orenji.

Tadi akhirnya Rajen memintaku membuka pintu rumah agar ia bisa masuk dan aku pun menurutinya. Rajen kemudian membawaku duduk di sofa sementara ia menyeduh teh. Orenji keluar dari kamar dan meminta makan lalu dengan sigap Rajen mencari makanan kaleng di lemari dapur dan memberikannya kepada Orenji. Setelah kenyang, Orenji melompat ke pangkuanku.

“Kenapa… menangis?” tanya Rajen lagi setelah melihat sikapku yang lebih tenang sekarang.

Aku menggeleng.

“Katakan saja.”

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Aku merasa… tidak bisa meninggalkan tempat ini.”

Rajen tersenyum, lalu pindah duduk ke sebelahku. Ia memegang kedua tanganku, sementara Orenji yang seolah mengerti, melompat turun ke lantai kemudian pergi keluar melewati pintu belakang yang terbuka.

“Kalau kamu rindu, kita bisa sering berlibur ke sini. Tapi… jangan sendirian sebab aku tidak ingin kejadian dengan Dano terulang.”

“Rajen.” Kutatap pria di hadapanku dengan mata memanas. “Tidak bisakah kamu melepaskanku?”

Raut wajah pria itu berubah sendu. “Aku minta maaf, tapi aku tidak ingin melepasmu untuk kedua kalinya. Aku…” Rajen membawa kedua tanganku ke mulutnya yang kemudian mengecup lembut, “aku ingin kamu menemaniku sampai aku menutup mata.”

Renjana di Ujung Senja by EmeraldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang