Bab 7 Her Daddy

63 5 2
                                    

Philip Leonard Brooke, seorang opsir polisi yang masih tampak gagah di usianya yang ke 45 tahun itu berjalan santai menuju sebuah bar di pinggiran kota. Jam kerjanya sudah selesai, tetapi dia terlalu malas untuk pulang kerumahnya. Percuma, pikirnya, toh dirumah tidak ada siapapun.

Beberapa orang langsung menyapanya, tepat setelahnya masuk ke dalam bar yang sudah tidak begitu ramai ditengah malam seperti ini.

"Hei, Sir Philip, aku tidak menyangka jika itu kau. Duduk disini denganku. Akan kutraktir minumanmu." Suara familiar terdengar ramah menyapanya. Seorang laki-laki yang beberapa tahun lebih tua tampak melambaikan tangan padanya. Dia Ronan, seorang peternak kuda, yang tinggal tidak jauh dari kantor polisi tempatnya bekerja. Ronan bersama beberapa orang lain, sedang menikmati Beer. Wajah beberapa dari mereka sudah terlihat merah dan sayu, tanda sudah mulai mabuk. Sepertinya rombongan itu sudah lumayan lama duduk disana.

Dengan sopan Philip menolak. "Mungkin lain kali, Ronan. Aku mau duduk disana saja", jawab Philip sambil menunjuk kursi tinggi tepat di depan bartender. Dia sedang tidak ingin berbasa basi dengan siapapun. Dia hanya ingin sendirian.

"Larry, beri aku Beer", pintanya tepat setelah bokongnya menyentuh kursi tinggi tersebut.

"Philip!!! Sungguh kejutan melihat kau disini", sambutnya dengan ramah. Larry mengangsurkan kepalan tangannya kepada Philip. Kepalan tangan Larry beradu dengan milik Philip. Dengan cekatan bartender sekaligus pemilik bar tersebut menyiapkan minuman pesanan Philip.

"Enjoy your Beer, teman", ujarnya dengan aksen Latin yang kental. Larry adalah seorang pensiunan binaragawan. Di usianya yang menginjak 55 tahun, ayah 4 anak itu masih terlihat sangat bugar. Ototnya yang besar terlihat menonjol dibalik kaus V neck ketatnya. Kegiatan sehari hari Larry adalah menjadi bartender dibar miliknya, serta sesekali menjadi Personal Trainer di Gym milik salah satu putranya, Armand. Singkatnya, Larry menyongsong masa tuanya dengan sangat bahagia. Setidaknya, itulah yang ada dalam penilaian seorang Philip.

Merasa diperhatikan, Larry yang sedang membersihkan sisa cipratan minuman dimeja itu mengangkat kepala.

"Ada apa, Phil? Kau tampak muram", tanya Larry.

Philip tersadar dari lamunannya. "Tidak apa-apa Larry. Hanya sedang banyak pikiran", jawabnya.

Jawaban yang sangat tidak memuaskan bagi Larry. Jadi dia hanya mengangkat bahu. Tidak ingin mengorek lebih jauh tentang kemuraman pria didepannya. Tak lama, Larry kembali disibukkan dengan kegiatannya menyiapkan minuman, untuk para pelanggannya yang baru saja datang. Sementara dia meninggalkan Philip sendirian hanya dengan segelas Beer.

Beberapa saat kemudian, Larry kembali menemui Philip, dan mendapati gelas Beernya sudah kosong.

"Apa kau ingin segelas Beer lagi, Phil?", tanya Larry menawarkan.

Philip menggelengkan kepala tanpa menjawab. "Aku ingin sesuatu yang lebih keras, Larry. Beri aku wiski."

Larry terdiam menimbang, lantas menggeleng. "Maaf aku tidak bisa memberimu itu. Kau harus menyetir pulang sendirian. Berbahaya kalau sampai kau menyetir sambil mabuk." Larry memberi pengertian kepada Philip dengan lemah lembut.

Biar bagaimanapun, Philip adalah temannya sejak lama. Saat mendiang istri Phil masih hidup, mereka berempat, Philip, Larry dan istri mereka masing masing sering menghabiskan waktu bersama. Memancing, berkemah atau sekedar berkunjung ke tempat wisata, sudah menjadi agenda mereka saat liburan. Mereka sudah seperti keluarga dekat. Larry sudah menganggap Philip seperti adiknya sendiri.

Akan tetapi, sejak Andrea, istri Philip meninggal dunia, mereka sudah tidak pernah lagi menghabiskan waktu bersama. Philip terlihat lebih fokus membesarkan putri semata wayangnya, Mia. Hidupnya hanya difokuskan untuk bekerja dan pulang kerumah untuk merawat Mia. Berusaha keras untuk menjadi ayah, sekaligus ibu bagi putri kesayangannya itu.

STANd(ing) Still Where stories live. Discover now