8x + 4 = 12

2.8K 445 256
                                    

Mengagumi

Berbakat di bidang musik dan memanfaatkan bakat secara maksimal. Berhasil melambungkan nama Assen Syahreza. Bukan hanya nasional, tetapi juga panggung Asia.

Sebagai apresiasi menunjang bakat, sekolah memberi fasilitas ruangan khusus untuk Assen berlatih piano.

Sering kali, gerombolan cewek mencuri kesempatan berdesakan-desakan mengintip dari luar lewat jendela berkaca bening. Assen merasa tidak nyaman dan pada akhirnya meminta fasilitas tambahan berupa dipasangkan gorden.

"Lari-lari dari hukuman adalah solusi terbaik." Suara bernada seorang perempuan, terdengar di lorong sekolah.

Teng .... Ting .... Ting ....

Memakai seragam batik berwarna abu-abu, Lea berhenti di tengah jalan. Instrumen piano terdengar begitu indah. Setiap chord yang di mainkan mengundang rasa penasaran.

Dari mana asal suara piano yang memikat hati itu?

"Eh, bagus banget. Bentar, ini suara piano asli?"

Melangkah semakin dekat hingga mendengar jelas. Terdengar dekat, lebih dekat, sangat dekat, dan menemukan.

Permainan instrumen berasal dari ruangan dengan pintu sedikit terbuka. Berniat mengintip dan ingin membuka pintu, tetapi berpikir dua kali. Beralih ke jendela tetap tak terlihat, karena terhalang gorden biru.

"Buset, kepo benar gue."

Bukan penggemar, tetapi tidak tahu pasti. Lea seakan-akan terbius di tengah keheningan. Sepuluh detik, lama waktu sudah tidak mendengar kembali suara yang dimainkan dari dalam ruangan.

Lea mengernyitkan alis dan firasat berkata akan ada orang yang keluar dari ruangan.

"Jangan-jangan? Gue harus sembunyi."

Memiliki postur tubuh tinggi seakan-akan ada tiang berjalan di sekolah. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Rambut pendek nan rapi sisir ke belakang. Sehelai rambut berwarna hitam dibiarkan menghalangi dahi. Assen baru saja keluar dari ruang berlatih.

Bersembunyi di balik dinding terdekat. Lea pun menghela napas lega, untung saja tidak sampai ketahuan kalau dirinya usai menguping suara merdu dari setiap nada yang dimainkan di balik pintu terbuka sedikit. Lelaki itu pasti bisa percaya diri tingkat tinggi.

"Baru tau gue, ternyata permainan piano-nya nggak buruk-buruk amat."

Lea berdecak kagum sambil berkacak pinggang.

"Selama ini mana pernah gue lihat dia main piano di sekolah? Ruangannya aja gue baru tau sekarang."

"Lea!" teriak seorang pria memanggil dari arah belakang.

Merasa terpanggil, Lea pun menoleh ke belakang dan mendapati guru. Jarak di antara mereka lima meter. Pria berbadan tegap itu membawa penggaris kayu berukuran panjang.

"Waduh," gumam Lea melebarkan mata.

"Bisa-bisanya kamu ada di sini? Katanya izin ke toilet, malah kelayapan. Cepat kembali ke lapangan!"

IngeniousWhere stories live. Discover now