Part 1 Aku yang Menyerah

11.9K 555 15
                                        

"Cerai? Kamu serius?" tanya Miya dengan mimik muka tidak percaya. Dia memandangku lekat.

"Ya."

"Sudah kamu pikirkan masak-masak."

"Hu um. Ini sudah keputusan finalku. Aku menyerah dengan cinta yang ku perjuangkan selama ini. Nyatanya sampe sekarang aku tidak pernah jadi pemenangnya. Hati Mas Ilham tetap untuk Nura."

Rasanya sangat sakit mengucapkan kalimat itu. Namun aku memang butuh teman berbagi, agar beban dan luka dada ini terasa berkurang.

Miya sudah kukenal sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah. Dia juga yang tahu bagaimana hubunganku dan Mas Ilham bermula.

"Kalian punya Syifa. Apa enggak kasihan sama anak."

Kupandang bocah perempuan yang asyik bermain dengan Tita, anaknya Miya yang seumuran dengan Syifa.

"Syifa enggak begitu dekat dengan papanya. Jadi enggak akan berpengaruh dengan perpisahan kami."

Miya menggenggam erat tanganku yang dingin. Sebak di dada ini tidak lagi mengalirkan air mata seperti biasanya. Hatiku memang sudah beku dengan drama yang terjadi di rumah tangga yang terbina lima tahun ini.

"Sabar, Vi."

Aku tersenyum getir.

"Apa ibumu dan mertuamu sudah tahu."

"Sebelumnya aku sudah minta pertimbangan sama Ibu. Beliau enggak bisa berkata apa-apa. Ibu juga tahu aku sudah cukup bertahan selama ini. Kalau mertuaku ... masih berharap bahwa kami akan baik-baik saja."

"Ilham sendiri bagaimana?"

"Masih diam."

Kualihkan pandanganku pada mentari di ujung barat. Sinarnya mulai meredup di antara gumpalan mega-mega putih.

"Teman-teman kita akan kaget mendengar ini," gumam Miya.

Tentu saja mereka akan kaget. Sebab orang-orang di luar melihat kami hidup dengan harmonis. Mereka mana tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di istana megah kami. Aku hanyalah ratu tanpa mahkota di sana. Aku hanya pelengkap status bagi pria yang menikahiku lima tahun yang lalu.

Aku sudah berusaha semampuku menjadi istri yang berbakti untuknya. Melayani dengan paripurna, tapi masa lalu masih juga merongrongnya.

Cerai? Selama lima tahun ini aku tidak pernah berpikir mengambil jalan itu. Aku percaya semua akan membaik pada akhirnya. Namun kini aku harus menyerah juga.

Malam setelah kupergoki Mas Ilham tertidur di ruang kerjanya, saat itu ditangannya ada buku yang terselip foto lama seorang wanita. Dia Nura. Mantan kekasihnya.

Bukan alasan itu saja yang membuatku nekat bercerai. Waktu Mas Ilham opname, dari kaca pintu kulihat Nura menyuapinya dengan penuh perhatian. Mereka bercengkrama layaknya pasangan yang bercinta.

"Vi," panggilan Miya membuyarkan lamunanku.

Aku menarik napas panjang, melihat jam tangan kemudian meraih hand bag di atas meja taman, tempat di mana aku dan Miya bertemu sore itu.

"Ayo, kita pulang Miya. Nanti suamimu pulang kerja kalian enggak ada di rumah."

"Vi, aku yakin kamu kuat. Hadapi dengan sabar dan doa."

Aku mengangguk. Kurasa aku cukup kuat selama ini. Bertahan dalam mahligai tanpa ada cinta di dalamnya.

"Syifa, ayo kita pulang, Sayang."

Dua bocah perempuan itu berlari pada kami. Miya mengajak anaknya pulang jalan kaki setelah aku naik taksi bersama Syifa. Taman itu memang tidak jauh dari perumahannya. Tadi aku belanja kebutuhan rumah di pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah Miya. Makanya sekalian kuajak dia ketemuan.

Setelah Lima TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang