Part 7 Kecewa

7.1K 439 27
                                        

Entah berapa lama aku tertidur, saat membuka mata hari sudah sore. Dan aku terkejut saat melihat sosok yang menatap sendu sambil menggenggam tangan kiriku.

Perlahan tangan kutarik. Mas Ilham tersenyum meski matanya memerah.

"Sejak kapan, Mas, di sini?"

"Kira-kira setengah jam yang lalu. Mas kaget waktu dikabari sama Miya. Kenapa enggak ngasih tahu Mas kalau kamu hamil, Vi?"

Benar saja, pasti Miya yang memberitahunya.

"Enggak apa-apa," jawabku singkat. Padahal aku sendiri tidak tahu kalau tengah mengandung.

Aku berusaha bangun dan duduk. Kubiarkan Mas Ilham membantuku. Rasa nyeri dan lemas masih terasa. Lagi-lagi dalam kondisi kecewa begini, aku masih membutuhkannya.

"Maafkan Mas." Digenggamnya kedua tanganku. Netranya menatap lekat.

"Karena keegoisan Mas, kita kehilangan calon anak kita."

Apakah aku harus percaya ucapan penyesalannya? Sementara dulu ia tidak antusias saat aku mengandung anak pertama kami. Lalu sekarang, kenapa dia begitu tampak kehilangan. Genggamannya kulepaskan.

"Kata Miya sudah dua bulan, ya?"

"Hmm."

Aku meraih botol air mineral untuk minum. Dengan cepat Mas Ilham membantuku. Setelah itu perlahan aku turun dari brankar.

"Mau ke mana?" tanya Mas Ilham sambil berjaga agak aku tidak jatuh.

"Aku mau mandi."

"Kamu bisa sendiri?"

Kujawab dengan anggukan kepala. Dia mengantar sampai depan pintu kamar mandi.

Di dalam sana bukannya aku segera mandi, tapi bersandar pada dinding dan menangis. Sisi hatiku yang lain ingin mempercayai bahwa hubungan ini pasti akan membaik, sedangkan sisi hati yang lain berontak. Bagaimana kalau Mas Ilham seperti ayahku dulu. Diam-diam meniduri selingkuhannya hingga hamil. Bukankah awalnya Mas Ilham sama perempuan itu memang saling mencintai? Cinta mereka berakhir karena terhalang restu. Bukan karena ketidak cocokan seperti yang dia katakan dulu.

Jika cinta telah mengambil peran, maka dilemanya tidak berkesudahan.

"Vi, kamu tidak apa-apa, 'kan?" teriak Mas Ilham sambil mengetuk pintu.

"Enggak," jawabku lemah.

Terpaksa aku mandi tanpa ganti baju. Yang sekarang kupakai ini bajunya Miya. Dia masih sempat membawakan aku pakaiannya, sebelum mengantar ke klinik. Untung juga tadi Miya sempat membelikan celana dalam sekali pakai dan pembalut. Mandi hanya sebentar, karena kebanyakan merenung.

Mas Ilham kembali memapahku ke brankar.

"Habis ini nanti, Mas ambilkan baju ganti dan beli makan."

"Enggak usah repot-repot. Besok pagi aku sudah boleh pulang. Mas, pulang saja. Aku sudah enggak apa-apa."

Rona kecewa tampak di wajahnya. Dia merasa kalau ucapanku baru saja seperti sedang mengusir secara pelan.

"Mau makan roti, tadi Mas belikan di kantin klinik."

Aku menggeleng.

Hingga malam Mas Ilham tidak pulang. Dia mandi di klinik dan kembali memakai baju kerjanya tadi siang. Kemeja warna navy dan celana bahan warna hitam.

Jam tujuh tadi Miya dan suaminya datang.

"Maaf, kalau aku memberitahu Mas Ilham, Vi. Karena kamu butuh teman. Tadi aku minta bantuan suster untuk full menjagamu tapi tidak ada suster yang longgar. Karena ini klinik bukan rumah sakit. Jadi tenaga perawat terbatas."

Setelah Lima TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang