Part 13 Konseling Pernikahan

6.2K 307 9
                                    

Setelah Lima Tahun
Part 13 Konseling Pernikahan

"Mbak, ada kiriman bunga?" Sarti menghampiriku yang duduk di kursi kasir, sambil memberikan buket kecil bunga mawar putih dan pink.

Kuterima buket itu. "Dari siapa?" tanyaku heran.

"Pak Alex," kata Sarti sambil tersenyum lantas melangkah ke belakang.

Kuletakkan buket di atas meja, kemudian kembali memeriksa pembukuan bulan ini. Biasanya Surti yang mengerjakannya, aku tinggal memeriksanya.

Ada-ada saja orang ini. Padahal dia tahu kalau aku masih menjadi istri rekannya. Nekat juga mengirimkan bunga. Waktu aku liburan hari itu, malah mengirimkan cokelat.

"Vi, kamu kok belum siap-siap. Ini sudah jam sembilan, lho!" Ibu yang muncul dari belakang menegurku.

"Iya, sebentar lagi aku ganti baju, Bu."

"Nanti keburu-buru. Udah tinggal saja itu," kata Ibu lagi. Lantas beliau memeriksa dua tas kresek besar berisi pesanan yang akan di antar.

Hari Sabtu ini jadwalku dan Mas Ilham untuk ke konseling pernikahan. Mas Ilham sudah membuat janji jam setengah sebelas hari ini.

Ibu menyarankan agar aku menyetujui keinginan Mas Ilham untuk berkonsultasi menyelesaikan permasalah kami dengan ahlinya. Kalau pihak keluarga yang menengahi, pasti tidak bisa bersikap netral.

Pernikahan kita serumit ini ternyata, Mas.

Padahal jelas bahwa curang itu bukan kesilapan, tapi pilihan. Mas Ilham memilih bermain api dengan masa lalunya, memberikan kesempatan dan ruang kepada perempuan lain hadir di antara kami. Kalau dia menolak, tentu semua ini tidak akan terjadi.

Sebenarnya aku pribadi tidak butuh ke konselor. Empat tahun membuatku terluka ini rasanya sudah cukup untuk berpikir sendiri dan membuat satu keputusan.

"Selagi bisa diselamatkan, berusahalah untuk menyelamatkan rumah tanggamu, Nduk. Kasihan Syifa jika harus mengalami nasib seperti kamu kecil dulu." Budhe menasehatiku.

Syifa justru makin dekat dengan papanya setelah kami berpisah. Sedangkan aku sudah nyaman dengan kesibukanku sekarang ini.

Bahkan andai statusku di gantung pun aku tidak peduli. Sebab Mas Ilham sendiri yang akan kerepotan. Statusnya menjadi tidak jelas juga.

"Assalamu'alaikum." Mas Ilham masuk dari pintu toko depan.

"Wa'alaikumsalam."

Dia mendekat ke meja kasir. "Tunggu sebentar, Mas. Aku belum ganti baju."

Mas Ilham memegang buket bunga di atas meja.

"Dari siapa?" Dia bertanya sambil menatapku tajam. Terlihat kalau tidak menyukai itu.

"Orang iseng," jawabku lantas berdiri dan bergegas ke belakang. Pembeli mulai berdatangan, aku tidak ingin kami berdebat di hadapan mereka.

Kami melangkah tergesa menuju rumah. Syifa yang sedang bersepeda di halaman seketika berhenti, meninggalkan sepedanya, dan berlari memeluk papanya. Dia sekarang sedekat ini. Bahkan waktu kusuruh bersalaman dengan Bre yang mampir ke toko, Syifa tidak mau.

"Kenapa tadi enggak mau salaman sama Om. Dia kan temannya Mama," tanyaku saat memandikannya sore itu.

"Enggak mau. Kata Papa, Syifa enggak boleh dekat dengan laki-laki asing yang enggak Syifa kenal, Ma."

Sampai segitunya Mas Ilham mendoktrin anaknya. Syifa yang dulu menjaga jarak dengan papanya, sekarang justru makin rapat.

Aku masuk kamar untuk berganti baju. Memoles sedikit wajah dengan bedak dan lipglos.

Kamu akan menyukai ini

          

Di ruang tamu terdengar canda Mas Ilham dan Syifa. Seandainya sejak dulu mereka seakrab itu ....

"Mama mau pergi, ya?" tanya gadis kecilku saat aku sudah keluar kamar.

Aku mengangguk. "Syifa sama Nenek di rumah, ya."

"Perginya sama Papa?"

"Ya."

"Syifa boleh ikut?"

"Untuk sekarang Syifa di rumah dulu saja. Kalau ada waktu kita bertiga pergi liburan. Mau enggak ke waterland?"

Mata bening Syifa langsung membulat menatap papanya. "Beneran, Pa?"

"Iya," jawab Mas Ilham sambil mencium pipi Syifa yang sedang dipangkunya.

Akhirnya Syifa kembali bersepeda dengan Mira, teman kecilnya. Kami juga segera berangkat setelah berpamitan dengan Ibu.

"Siapa sih yang ngirim bunga tadi? Memangnya suka dikirimi buket, ya?"

Tampaknya Mas Ilham masih penasaran dengan pengirim buket itu.

"Enggak, baru dua kali."

"Penggemar baru?"

"Entahlah! Enggak usah di bahas lagi. Bukankah kita pergi ini mau mencari solusi."

Mas Ilham diam dan kembali fokus mengemudi.

Kami sampai di depan sebuah ruko mewah. Ini pusat perkantoran yang tidak jauh dari kantor Mas Ilham. Langkah kami tertuju pada ruko bercat putih dengan plang nama di depannya. Aisyah Helena M.Psi. Seorang psikolog yang cukup ternama di kota kami.

Dadaku berdetak lebih daripada biasanya. Melakukan konseling seperti akan membedah luka-luka kembali. Mengorek satu per satu hal yang ingin aku abaikan.

"Assalamu'alaikum, Bu." Mas Ilham mengucap salam setelah kami dipersilakan masuk dalam ruangan praktek berukuran enam kali empat meter persegi. Bau aroma terapi yang menenangkan memenuhi ruangan ini.

"Wa'alaikumsalam," jawab wanita setengah baya itu ramah. Wajahnya berseri di usianya yang setengah abad, seumuran Ibuku.

Ibu Aisyah memakai jilbab warna putih bunga-bunga. Terlihat anggun dengan wajah blesteran timur tengah.

Kami bersalaman.

"Mari, silakan duduk."

Kami duduk di sofa panjang menghadap ke timur. Sementara Ibu Aisyah duduk di sofa tunggal depan kami yang menghadap ke selatan.

Wangi mawar tercium di jambangan bunga yang ada di atas meja kaca depan kami.

"Kalian pasangan yang serasi," puji beliau mengawali pembicaraan. Kami tersenyum.

Kami hanya sebentar berbasa-basi sebagai perkenalan diri. Ibu Aisyah hanya mengulas sebentar apa tujuan sebuah pernikahan. Enam puluh menit ini harus dimanfaatkan secara efektif, karena Mas Ilham membayar mahal setiap sesi pertemuan ini. Lagi pula Mas Ilham sudah menceritakan garis besar permasalahan kami, waktu membuat janji pertemuan beberapa hari sebelumnya.

"Tidak semua permasalahan rumah tangga diselesaikan dengan perceraian. Banyak pasangan selingkuh yang akhirnya memilih berdamai dan hidup bahagia," ucap Ibu Aisyah dengan tenang.

"Apa alasan yang membuat Mbak Vi bertahan dalam diam selama empat tahun? Saya panggil Mbak dan Mas saja, biar lebih enak."

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Saya sangat mencintai suami saya, Bu," ucapku dengan jelas. Biar pria di sampingku ini tahu. Saat memutuskan menikah, aku tidak sedang melepas status saja. Tapi ingin berkomitmen hingga maut memisahkan.

Setelah Lima TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang