Kadang aku tidak tahu apa yang diinginkan hatiku selain berpisah dengan damai. Sesekali mengamuk misalnya, menemui perempuan itu dan menjambak rambut atau sekedar memaki. Aku justru pergi dan memberi kesempatan kepada suami untuk berkomunikasi. Ketika perempuan itu menghubungi.
Ternyata aku bisa selandai ini.
Aku membuat teh di dapur, Mas Ilham menyusul dan berdiri di sebelah. Sepertinya dia tidak menerima panggilan itu.
"Mas masih ada pekerjaan dengannya. Setelah proyek ini selesai, Mas akan meminta pihak PT Adi Tama untuk mengirim orang lain mengurus pekerjaan dengan kami."
"Ini tehnya, Mas." Aku menggeser gelas teh di hadapan Mas Ilham. Tanpa menanggapi dengan apa yang baru saja dikatakannya.
Terserah.
Bukan apa-apa, misalnya aku tidak mengambil sikap begini. Bisa jadi dia masih terlena dengan kebersamaan dengan perempuan itu.
"Aku ke kamar dulu." Pamitku sambil membawa teh milikku.
Aku masuk kamar tanpa mempedulikannya.
Malam kami lalui dalam hening. Aku tidur di kamar Ibuku dan Mas Ilham tidur di kamarku.
[Sudah tidur, Sayang.]
Baru kali ini aku merasa geli dengan pesan yang dikirim Mas Ilham. Kubiarkan saja pesan itu.
[Sudah tidur apa belum?]
Sekali lagi dia mengirim pesan. Kali ini aku mengetik balasan.
[Sudah.]
Dia mengirim emot tawa.
[Mas, ke situ ya? Atau Vi yang ke sini.]
Nekat Mas Ilham ini. Aku beranjak turun dan mengunci pintu kamar Ibu.
Namun, sampai larut malam aku masih juga terjaga. Sebenarnya mau ke mana hubungan ini. Berhenti, berlanjut, atau abu-abu tidak jelas.
Rasa cinta, sakit hati, marah, benci, kecewa, dan entah apalagi berkecamuk dalam satu tempat, bernama hati.
Jika aku memberi kesempatan, apakah semua tidak akan terulang lagi. Sementara mereka masih dalam lingkup kerja yang sama. Siapalah aku jika meminta Mas Ilham resign dan cari pekerjaan lain. Dia merintis karier itu sejak sebelum mengenalku lagi. Mulai dari karyawan biasa hingga menjadi BM.
Nura, aku tidak berhak mengatur hidupnya. Dia menjadi tulang punggung keluarga. Apalagi ada seorang anak dan ibu yang butuh ditopang.
'Mas, seandainya kamu sadar sejak awal. Masih perhatian dan peduli seperti saat-saat sebelum bertemu dengan masa lalumu, aku tidak akan semarah ini. Seandainya aku percaya dengan pengakuanmu, kita bisa tetap berbaikan. Seperti yang aku lakukan sebelum aku sadar hubungan kalian sangat berbeda. Tidak seperti teman pada umumnya.'
Mungkin kita masih bisa pergi berlima, renang, jalan-jalan, dan berkumpul di rumah Mama. Aku pun bisa menganggap dia seperti teman.
Sayangnya, suami yang kupercaya telah berubah. Dan perempuan yang kuanggap teman telah berusaha mengambil tempatku, di hati suamiku.
Rentetan pesan Mas Ilham kubiarkan tak terbaca.
🌺🌺🌺
"Masak apa?" tanya Mas Ilham yang menghampiriku di meja makan.
"Enggak masak. Aku beli di warung depan tadi," jawabku sambil membuka bungkusan nasi yang ku taruh di atas piring.
"Ayo, sarapan dulu, Mas!"
Kugeser piring di depan Mas Ilham yang sudah duduk di kursi.
"Pesan-pesan Mas kenapa tidak dibalas tadi malam?"

ВЫ ЧИТАЕТЕ
Setelah Lima Tahun
Художественная прозаMereka mengira kami baik-baik saja. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di istana kami. Kenyataan yang membuatku harus menentukan keputusan, bertahan atau melepaskan. Cerbung ini sudah cetak novel, juga bisa dibaca di aplikasi KBM App, Goodnovel, Inn...